Mohon tunggu...
IRFAN MANGKUNEGARA
IRFAN MANGKUNEGARA Mohon Tunggu... -

a government auditor..interested in fraud and law

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Analisa Sederhana atas Kerugian Negara Kasus Chevron

5 Juni 2013   10:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:30 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini marak kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung kepada beberapa korporasi di Indonesia. Kasus kriminalisasi yang menyita khalayak publik adalah kasus dugaan korupsi senilai Rp1,3 trilyun yang dilakukan oleh Indosat Mega Media (IM2) dan kasus dugaan korupsi senilai kurang lebih USD9,9 juta oleh PT. Chevron Pacific Indonesia.

Benang merah yang mengaitkan kedua kasus tersebut adalah perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas permintaan Kejaksaan Agung. Pada setiap sidang, pengacara kedua kasus tersebut selalu menggunakan argumentasi bahwa perhitungan kerugian negara oleh BPKP adalah tidak sah menurut hukum. Perhitungan kerugian negara sepenuhnya menjadi wewenang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2004 pasal 10 ayat (1) tentang BPK. Argumentasi tersebut memang dapat digunakan, namun Mahkamah Agung selaku pihak yang memutuskan perkara dapat menggunakan hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKP. Hal ini didasarkan pada Rumusan Hasil Diskusi Komisi IA bidang Pidana Umum dan Pidana Khusus pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI tanggal 9 Oktober 2009 di Palembang, yang menyatakan :

“Badan Pemeriksa Keuangan adalah auditor negara. Penghitungan kerugian negara dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Jaksa selaku penyidik.”

Berdasarkan hasil rapat kerja tersebut, maka perhitungan kerugian negara oleh BPKP dapat digunakan oleh Mahkamah Agung. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menyurutkan langkah kuasa hukum dari terdakwa kasus Indosat untuk membela kliennya. Manuver yang perlu diakui cerdik adalah dengan menggugat hasil audit BPKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut dikabulkan oleh PTUN dengan menunda berlakunya laporan audit investigatif terkait dengan kerugian negara sebesar Rp1,3 trilyun tersebut. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyebut jika mau melakukan audit, harusnya menjadi wewenang Menkominfo karena dalam Undang-undang disebutkan jadi pihak yang mengatur urusan telekomunikasi (sumber : detik.com).

Pertanyaan yang timbul dari kondisi di atas adalah jika IM2 berhasil memenangkan gugatan atas perhitungan kerugian negara oleh BPKP, mungkinkah Chevron menang jika menggugat hasil audit BPKP? Jawabannya adalah mungkin!

Hasil analisa yang penulis lakukan dari pemberitaan di beberapa media diketahui hal-hal sebagai berikut:

1.Saksi ahli dari BPKP menghitung dampak kerugian proyek bioremediasi berdasarkan keterangan saksi ahli yang lain (Sdr. EE) yang diragukan independensinya.

2.Saksi ahli dari BPKP tidak tahu ada batasan atau tidak menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi.

3.Saksi ahli dari BPKP hanya menghitung dampak dan bukan memutuskan adanya penyimpangan. Ia menyatakan, “Kesimpulan kami dalam perhitungan ini terjadi kerugian negara. Kami tidak menyimpulkan penyimpangan”. (sumber : jpnn.com dan cetak.shnews.co)

Apa yang disampaikan oleh saksi ahli dari BPKP di atas menunjukkan bahwa auditor BPKP tidak melaksanakan audit investigasi sesuai dengan standar yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/5/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Pengawas Intern Pemerintah yang menyatakan (APIP) hal-hal sebagai berikut :

1.Jika keputusannya adalah untuk melakukan audit investigatif, APIP harus menentukan rencana tindakan yang antara lain mengidentfikasi kemungkinan pelanggaran hukum, peraturan, atau perundang-undangan, dan memahami unsur-unsur yang terkait dengan pembuktian atau standar.

2.Sasaran audit investigatif adalah terungkapnya kasus penyimpangan yang berindikasi dapat menimbulkan terjadinya kerugian keuangan negara/daerah.

3.Pelaksanaan pengumpulan dan evaluasi bukti harus difokuskan pada upaya pengujian hipotesis untuk mengungkapkan:

a.fakta-fakta dan proses kejadian (modus operandi);

b.sebab dan dampak penyimpangan;

c.pihak-pihak yang diduga terlibat/bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara/daerah.

4.Dalam audit investigatif, bukti audit harus diperoleh dengan tidak menggunakan metode sampling, melainkan harus secara keseluruhan populasi.

5.Pengumpulan bukti harus dilakukan dengan teknik-teknik tertentu antara lain wawancara kepada pengadu, saksi, korban, dan pelaku; reviu catatan; pengumpulan bukti forensik; pengintaian dan pemantauan; serta penggunaan teknologi komputer.

6.Auditor investigatif harus meminta tanggapan/pendapat terhadap hasil audit investigatif. Tanggapan/pendapat tersebut harus dikemukakan pada saat melakukan pembicaraan akhir dengan auditi.

Berdasarkan keterangan saksi ahli dari BPKP dan standar yang penulis ajukan di atas, penulis meragukan kesahihan perhitungan kerugian negara oleh BPKP. Oleh karenanya BPKP dapat digugat karena mengeluarkan hasil audit yang tidak sesuai standar. Selain itu, beberapa hal yang menjadi catatan penulis adalah :

Saksi ahli dari BPKP menyatakan hanya melakukan perhitungan kerugian negara tidak menyimpulkan adanya penyimpangan. Keterangan ini adalah salah, mengingat definisi kerugian negaramenurut UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Pertanyaannya adalah bagaimana saksi ahli dari BPKP bisa menghitung perhitungan kerugian negara apabila tidak mengetahui kriteria hukum yang dilanggar?

Mengenai masalah kerugian negara yang disimpulkan terjadi karena Chevron menggunakan mekanisme recovery cost, maka harus dilihat dulu apakah biaya bioremediasi ini masuk dalam item yang diajukan Chevron untuk dibayar oleh negara atau tidak. Jika memang hal tersebut masuk dalam item yang diajukan oleh Chevron untuk dibayar negara, maka Chevron merugikan keuangan negara. Karena item bioremediasi menurut hemat penulis masuk dalam biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat pada masa eksploitasi yang tidak dapat diklaimkan sebagai biaya yang dapat diganti oleh negara. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Namun jika item tersebut tidak termasuk item yang harus dibayar pemerintah, Chevron tidak dapat dikatakan merugikan keuangan negara.

Akhir kata, tulisan ini bersifat opini dengan keterbatasan data yang hanya diperoleh dari media internet. Selanjutnya, mari kita hormati proses hukum yang berlaku. Semoga proses hukum yang sedang berjalan memberikan kita putusan hukum yang adil

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun