Riset terhadap hukum musik dalam fiqh Islam membawa saya pada penemuan yang—katakanlah—komikal.
Sebagaimana kita tahu, ada dua pendapat besar menyoal musik. Pertama, haram karena ia dapat melenakan kita dari zikir kita kepada Sang Pencipta. Kedua, boleh jika penggunaannya dapat mendekatkan kita kepada-Nya. Saya cenderung kepada pendapat yang kedua, karena (1) sejauh ini, menurut saya, musik adalah media, yang jika digunakan untuk kebaikan, maka akan menjadi baik. Sebagai contoh, lagu “Sandaran Hati” dan “Sebelum Cahaya”-nya Letto, yang bagi saya, adalah “terapi-taubat” yang ampuh. Liriknya jika diresapi benar-benar, mampu membangkitkan kerinduan kepada Sang Kekasih.
Tetapi (2) tetap bersifat situasional karena kadang, lagu bertema islami juga malah mendampakkan hal yang sebaliknya. Sebagai contoh, lagu-lagu “nasyid” milik Wali yang diamini lewat jogetan penonton di bawah panggung—yang tak bersekat antara lelaki dan perempuan.
Namun begitu, fakta tak terduga yang saya temukan dari pencarian ini justru muncul dari mereka yang antipati terhadap musik—bahkan yang berbendera nasyid sekalipun. Alat musik adalah alatul lahyi, ujar mereka, dan penggunannya dalam mendendangkan lagu adalah kesia-siaan. Apalagi jika sampai digunakan untuk mendendangkan asma Allah—atau potongan doa. Namun begitu, sebagian dari mereka amat welcome terhadap musik impor dari Timur Tengah. Wabil khusus, dari Arab Saudi. Hanya karena lagu-lagu itu berbahasa Arab.
Padahal kalau ditelaah, lirik-lirik lagunya juga kadang tak kalah cabung dibandingkan Pacar Lima Langkah, 1 Jam Saja, atau bahkan Telat 3 Bulan.
Ini membawa saya pada penmuan yang lebih besar, bahwa ternyata, ada orang-orang tertentu yang masih menganggap (1) segala sesuatu yang berbau Arab sebagai—sudah pasti—adalah islam. Padahal bangsa Yahudi juga ada yang islam. Atau (2) menganggap semua orang Arab sebagai Ahlul Bait, sebagai Habaib, padahal sebagian mereka ada juga yang keturunan Abu Jahal dan Abu Lahab. Atau (3) Semua tulisan Arab pastilah al-Qur’an, padahal seorang santri penggemar konspirasi Dan Brown bisa saja menulis resep rahasia sambal terasi dengan tulisan Arab gundul disertai kodifikasi khas sorogan—mim untuk mubtada, kho untuk khabar, dan lain-lain. Dan itu bukan al-Qur’an.
Bayangkan kalau “penyakit” ini mewabah menjangkiti kita semua. Lalu seorang berhidung mancung dengan gamis dan turban dan tasbih tiba-tiba berdiri di tengah majelis sembari menuding langit dan mengangkat tangan seumpama Hadad Alwi, berteriak, “Innas Syarimiina yadzhabu ilas suuqi, aamiiin? Wa la’allas Sarimiin asy-tariyu mie as-sedapiy kariy ayam, aamiin? Wa bulbul ‘ala asyjari, wa mujair fill balongi ‘indal Masjidi, wa ‘ala mang Bani wa mang Sukri wa mang Lalam. Aamiin.”
Apa Anda akan ikut mengangkat tangan dan meneriakkan aamin?
Sebagian dari kita—tanpa pikir panjang—barangkali akan mengamini, hanya karena profil si lelaki dan aksen Arab yang meyakinkan, tapi seandainya ditelaah, kata-kata itu sebenarnya berarti: Sesungguhnya Sarimin pergi ke pasar, amiin? Dan semoga Sarimin membeli mie sedap kari ayam, aamiin? Dan bulbul di atas pohon, dan ikan mujair di balong samping masjid. Dan kepada mang Bani dan Mang Sukri dan Mang Lalam. Aamiin.
Akibatnya, muncullah hooligan yang menerjemahkan kebiasaan Rasulullah bergamis sebagai perintah agama yang berhukum fardhu ‘ain. Padahal, perintah Islam adalah menutupi aurat. Dengan pakaian yang bersih dan suci, apalagi ketika hendak melaksanakan ibdah mahdah semisal shalat dan thawaf. Sedangkan gamis adalah bagian dari budaya Arab. Rasulullah bergamis karena beliau adalah orang Arab, hidup di lingkungan Arab, terikat budaya Arab. Seandainya Rasulullah diutus di pulau Jawa, misal, bisa jadi Rasulullah shalat mengenakan batik.
Yang lebih ekstrim lagi, saya beberapa kali menemukan orang yang “mengharamkan” bermakmum kepada orang yang shalatnya tidak mengenakan sarung atau peci. Padahal, Rasulullah tidak bersarung dan Paus di Vatikan juga berpeci. Masak iya sih harus memaksakan diri bermakmum ke Paus karena Paus menggunakan peci?
Bahkan, ada aturan tak tertulis dalam lingkungan masyarakat yang—untunglah sekarang sudah tidak seketat dulu—mengharuskan mereka yang belum berhaji untuk hanya boleh mengenakan peci hitam, karena peci putih adalah trademark para “haji”.
Berangkat dari fenomena inilah, barangkali, sebagian dari kita bersikap sok kearab-araban hanya demi mengesankan diri islami. Seolah kalau belum menggunakan kata ganti ana, akhi, ukhti, antum, kita belum sah disebut ustad, belum layak dianggap seorang muslim sejati. Walaupun memang, tidak ada yang salah dengan menggunakan semua kata ganti itu, sepanjang niat kita baik. Atau sepanjang kita bergiat mempelajari bahasa Arab setotal mungkin—bukan sekedar tempelan demi terkesan sangat kiai. Karena Rasulullah sendiri memerintahkan kita untuk mencintai bahasa Arab, sebagaimana sabdanya, “Cintailah bahasa Arab karena 3 perkara: (1) karena sesungguhnya aku adalah orang Arab, dan (2) al-Qur’an berbahasa Arab, dan (3) obrolan ahli surga di dalam surga berbahasa Arab.”
Yang menjadi masalah adalah ketika kita menyamaratakan Arab sebagai Islam. Karena tidak semua orang Arab adalah Islam, tidak semua akhlak bangsa Arab adalah akhlak surgawi. Dalam suatu kesempatan, seorang kawan men-tag foto Miss Arab yang mengenakan gaun hijau bertulisan dua kalimah syahadat—menyerong dari sisi bahu kiri atas ke sisi kaki kanan. Gaun itu tidak terlalu ngetat, memang, hanya saja, sisi kanan-atasnya “terpotong” sehingga menampilkan bahu kanan yang telanjang—berpadu dengan rambut hitam tergerai. Sisanya, tertutup.
Pertanyaan: apakah hanya karena dalam gaun itu terdapat tulisan dua kalimat syahadat, kita akan tetap menyebut gaun itu sebagai islami?
Tidak kan?
Jadi kenapa mesti menganggap segala sesuatu berbau Arab sebagai sudah pasti adalah Islam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H