Mendeham seperti seorang dosen, saya menerangkan, “Riset.” Dan melanjutkan petuah seperti seorang ustad, tapi kedua keponakan saya hanya terkekeh, dan yang seorang menjawab, “Ah, alasan.” Lalu melengos pergi bekejar-kejaran. Saya merenungkan ulang kejadian itu dan mendapati bahwa keponakan saya benar.
Saya tidak sedang meriset. Saya kecanduan. Dan semakin dipikir, semakin 2 kesimpulan susul-menyusul. Pertama, tentang kita yang kadang jatuh hati pada perkara yang kita benci—yang kita tahu itu keliru. Bukankah kita semua sepakat bahwa gosip adalah perkara yang buruk? Bahwa ghibah hanyalah “memakan daging-mentah orang yang di-ghibahi”? Bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Bahwa hasud adalah seburuk-buruk sifat? Bahwa bohong adalah satu dari 3 tanda kemunafikan? Tapi kita masih menemukan diri kita mengeset TV di acara gosip, pergi ke warung demi membicarakan tetangga sebelah, mengisi waktu luang di pengajian dengan saling mempergunjingkan, menambah-nambahi cerita demi terdengar dramatis, merasa kesal ketika tetangga membeli kulkas 7 pintu.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216)
Membenci sesuatu yang baik atau menyukai sesuatu yang buruk, setidaknya bisa disebabkan dua kondisi. Pertama, ketidaktahuan kita pada kebaikan/keburukan hal yang kita benci/sukai. Untuk yang begini, Allah memberi janji, “…Sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya)….” (QS an-Nahl: 119)
Dan yang kedua, ketidakmampuan kita untuk mengontrol hawa nafsu. Padahal kita tahu sesuatu itu baik—seperti bangun subuh—tapi kita malah benci. Padahal kita tahu sesuatu itu buruk—seperti begadang yang tiada artinya—tapi kita malah membiasakannya.
Tapi, seperti Khaled Hosseini menulis dalam And The Mountain Echoes, manusia tetaplah seorang tawanan kebaikan. Tak satupun dari kita nyaman merasa (atau dicap) jahat dan buruk. Oleh karena itu, sampailah kita pada kesimpulan kedua, bahwa kita acapkali melakukan pembenaran setiap kali melakukan kesalahan.
Bahwa kita tidak sedang bergosip melainkan menyampaikan fakta seputar selebriti. Bahwa kita tidak sedang hasud hanya sedang terkejut. Bahwa kita tidak sedang berbohong hanya sedang merangkai cerita. Bahwa kita tidak sedang memfitnah hanya sedang menegakkan keadilan. Bahwa kita tidak sedang berhura-hura berjoget semalaman melainkan sedang menyebarkan energi positif.
Tapi coba bayangkan jika kita punya teman yang setiap hari selalu saja menutupi kesalahannya dengan berbagai alasan dan pembenaran. Sekali dua kali kita mungkin memaklumi—memaafkan. Tapi semakin sering, kita mungkin akan justru merasa ilfeel—dan memilih menjauhi. Nah, jika begitu, bagaimana Allah menyikapi kita, jika setiap hari yang kita lakukan hanya melakukan berbagai pembenaran?
Sayangnya, semakin dipikirkan, semakin dua kesimpulan ini terasa sebagai (hanya sebatas) pembenaran. Ya ampun!
[1] King, Jamie (2010: 129)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H