Mohon tunggu...
Irfan L. Sarhindi
Irfan L. Sarhindi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis "The Lost Story Of Ka'bah" dan "Kun Fayakun Kun La Takun". Peraih Nugra Jasa Dharma Pustaloka Perpusnas 2011 Kategori Karya Fiksi Terbaik III untuk novel keduanya "Apologia Latte". Selain menulis, aktif pula di Ponpes tempatnya lahir dan menimba ilmu dan bertumbuh: Ponpes Darul Falah, Jambudipa. Ia juga seorang Pembicara, Long Life Learner, Pecinta Buku, dan Penggemar Sepakbola. Karya-karyanya yang lain: Hubby, Apologia Latte, Sirruhart, Meander, Sarajan Copas. Berdomisili di Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rekor MURI MTQ, Kapan Yak?

4 April 2014   20:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kata “rekor” naga-naganya memberi kesan yang jauh lebih personal dan besar, ketimbang arti kata itu secara definitif.

Alasannya bisa jadi amat sederhana: yaitu karena secara psikologis, kita akan merasa amat senang dan besar dan hebat ketika berhasil mencapai sesuatu—atau terlibat dalam sekelompok orang yang berhasil mencapai sesuatu—yang belum pernah dicapai orang lain. Atau, mengalahkan rekor-rekor sebelumnya. Seperti sukses menginjakkan kaki di puncak tertinggi planet Bumi, sukses menemukan planet terjauh, sukses menginjakkan kaki di Pluto, sukses berenang menyeberangi samudera pasifik.

Perasaan menjadi seorang juara.

Champion.

Muncullah, kemudian, dalam rangka mengakomodasi dan mencatat dan memastikan dan mengabadikan dan memformalkan semua pemecahan rekor itu, dalam skala global, Guinness Book of Record. Dan dalam skala nasional, Museum Rekor Indonesia (MURI). Yang dijadikan objek pemecahan rekor bisa macam-macam, range-nya tak terbatas, mulai dari tubuh terpendek hingga umur terpanjang, hidung termancung hingga bibir terdower, menabuh drum 7 hari 7 malam sampai berenang di sungai berbuaya, bersepeda dengan satu kaki sampai menyeberangi jurang berbekal satu batang kayu sebagai jembatan.

Semakin mustahil semakin riuh tepuk tangan. Semakin “mendekati ajal” semakin orang-orang berdecak kagum. Semakin konyol semakin terbahak orang-orang.

Namun demikian, gema “aura-juara” dari pemecahan rekor rupanya tak hanya menjadi milik sang pemecah rekor, tetapi lebih dari itu, juga para penonton. Itulah kenapa pemecahan rekor diadaptasi menjadi acara televisi. Melihat orang berhasil melakukan sesuatu yang mustahil, lalu namanya diabadikan dalam piagam berpigura itu, selalu menumbuhkan dorongan untuk mencoba sesuatu seperti mereka. Sayangnya, tulisan “Don’t try this at home” di layar televisi membuat saya berpikir 2 kali. Betapapun saya berani, saya terlalu penurut untuk mau membangkang perintah tim kreatif.

Akhirnya, satu-satunya rekor yang berhasil saya pecahkan sejauh ini adalah bahwa saya—barangkali seperti juga Anda—tak memecahkan satupun rekor. Dan nama saya hanya dicatat di album tamu undangan teman yang menikah. Tapi tak apa. Seseorang harus menjadi penonton agar satu-dua orang bisa naik panggung, agar satu-dua orang bisa menyebut diri mereka selebritis. Tetapi... 0ke, lupakan.

Mari kembali ke topik.

Namun begitu, euforia menonton acara pemecahan rekor di televisi rupa-rupanya tetap tak sebanding dengan menonton secara langsung, dan kesempatan itu terjadi tahun 2013 ketika saya dan seorang teman, main ke Jogjakarta untuk—alasan formalnya sih—survei kopi joss demi keperluan bisnis, walaupun pada kenyataannya semata-mata jalan-jalan.

Karena bertepatan dengan Pekan Budaya Tionghoa—yang tidak kami duga—maka Malioboro penuh sesak. Berdiri dan duduk di areal dekat panggung utama, bersama beribu masyarakat yang tumpah ruah, kami menyaksikan karnaval dan barongsai sepanjang 132 meter—yang diklaim sebagai barongsai terpanjang di Asia. Belum lagi sajian pawai abdi keraton dan aneka kesenian tradisional sebagai bentuk harmonisasi dua budaya besar—Tionghoa dan Jawa—dan marching band yang menyemarakkan malam.

Tapi rupa-rupanya acara belum berhenti sampai di situ, karena di tengah prosesi karnaval itu, sebuah mobil pick up yang membawa gunungan kue keranjang berhenti di depan podium. Seorang MC memandu acara dan serah-terima piagam MURI itupun dilakukan selepas wawancara.

Masih di tahun yang sama, sebuah pemecahan rekor mengejutkan saya. Dan itu datang dari Surabaya pada peringatan Hari Armada, di mana 6.429 orang prajurit Koarmatim berjoget Buka Sikit Joss diimami Sang Ceaser di atas podium, bertempat di Dermaga Madura Ujung Koarmatim. Dalam review yang ditayangkan dalam salah satu episode YKS malam itu, tersebutlah alasan dibalik pemilihan joget ceasar sebagai objek pemecahan rekor, yaitu: karena joget ceasar telah memasyarakat dan setiap orang bisa berjoget ceasar. Amboi!

Tiba-tiba jadi kepikiran, kapan yak ada pencatatan rekor tadarrus al-Qur’an? Rekor tilawatil Qur’an? Atau rekor karnaval dulag dan takbiran, misalnya? Atau rekor hifdzil Qur’an, mungkin? Rekor shalawatan? Rekor tabligh akbar dengan 20 Kiai 30 Qori 7 MC dan dua puluh juta mustami’ mungkin? Atau apa gitu yang wah?

Dan nantinya, prosesi pencatatan MURI itu akan diwarnai pidato keren semisal ini, “Rekor tadarrus al-Qur’an yang diikuti 6000 santri selama 70 jam nonston, dengan jumlah ayat yang dibaca 1.000.000.000 ayat, dipecahkan di Cianjur!” Lalu sorak-sorai, sorot kamera, liputan wartawan, dan sujud syukur.

Namun begitu, kalau kita mau jujur, jauh-jauh hari sebelumnya kita akan lebih dulu disibukkan oleh silang pendapat. Team Kontra akan berdalih, “Tadarrus al-Qur’an jadi rekor MURI? Sebaiknya segeralah bertaubat. Al-Qur’an adalah Kalam Suci yang tak layak dimain-mainkan. Cukuplah Allah dan Malaikat-Nya yang mencatat! Jangan sok-sokan di buat rekor!” Dan sebagian di antara mereka akan berteriak, “DASAR KAFIR!”

Lalu Team yang pro akan membantah, “Ini demi kepentingan umat, demi membumikan al-Qur’an, demi mendorong hasrat masyarakat untuk mentadarrusi dan mentadabburi dan mencintai al-Qur’an secara total.”

Lalu, karena masing-masing pihak merasa paling benar, perdebatan kian meruncing tanpa menyisakan titik temu dan solusi. Rencana ini pun berlarut-larut, sehingga, setelah 3 bulan belum ada kesepakatan, pihak MURI akhirnya mengambil inisiatif. “Pada hari ini, MURI menetapkan rekor debat terlama dengan personil terbanyak untuk Debat tentang “Ajuan Acara Pemecahan Rekor Tadarrus al-Qur’an” yang diikuti oleh 20 ulama, 100 ustad, dan 1000 santri selama 90 hari nonstop, dipecahkan di Cianjur!”

Berikutnya, kita hanya bisa berharap kantor MURI tidak digrebek tentara bernama depan Front yang satu itu—yah, Anda tahulah yah, yang mana. :))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun