Kolom komentar merupakan salah satu tujuan utama warganet apabila sedang menjelajahi internet, terutama pada tulisan-tulisan yang memuat kontroversi. Tak jarang, kita temui komentar-komentar warganet yang memuat ujaran kebencian, kemarahan, kekecewaan, bahkan sekadar senda gurau, yang pada akhirnya berujung pada keributan tiada akhir. Bahkan, terkadang keributan ini merambah ke berbagai isu yang tak terkait dengan tulisan yang terpampang di layar kaca, terutama isu-isu terkait pilkada jakarta.
Sejak saat itu, berbagai upaya muncul sebagai respon atas seringnya terjadi perbedaan pendapat yang memicu perpecahan. Mulai dari lingku terkecil, para pemuka agama yang berada di sekitar kita mulai menggiatkan ujaran perdamaian. Dalam lingkup yang lebih besar, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga turut terjun mencoba mencegah perpecahan. Bahkan, saat kunjungannya ke Indonesia, mantan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, juga menyinggung mengenai gesekan-gesekan yang terjadi belakangan ini.
Obama dalam keynote speechnya di Kongres Diaspora Indonesia pada tanggal 1 Juli 2017 lalu mengatakan bahwa untuk menjaga pertumbuhan bangsa yang positif, salah satu faktor yang perlu kita perhatikan adalah masalah keyakinan. Obama menyebut bahwa keyakinan yang sifatnya pribadi, seperti agama, haruslah ada dalam diri kita masing-masing. Namun, jangan sampai keyakinan tersebut digesekkan pada keyakinan orang lain. Bila hal tersebut terjadi, maka terjadilah keributan. Karena sesungguhnya, kebenaran yang sifatnya personal (bukan kebenaran umum atau universal) ada untuk diyakini oleh kita sendiri, bukan untuk digesekkan dengan kebenaran orang lain.
Hal serupa juga disampaikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar (AA Gym) pada acara hitam putih yang potongan videonya sempat viral. AA Gym mengatakan bahwa kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dan jangan sampai offside. Hal ini karena offside tersebutlah yang menjadi permulaan dari keributan. Hal serupa juga diutarakan Kemkominfo melalui infografisnya secara implisit dengan merujuk pada Fatwa MUI no. 24 tahun 2017. Pada poin 2, jelas disebutkan bahwa tidak semua yang benar pantas disebar, yang berarti secara implisit bahwa kebenaran bagi kita belum tentu benar bagi orang lain. Begitu pula dengan ujaran Presiden Jokowi beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik, yang secara implisit berarti agama sifatnya personal, politik sifatnya universal.
Lalu, bagaimana sebenarnya kita menyikapi "benar" secara teoretis? Banyak teori filsafat terkait kebenaran. Namun, penulis rasa salah satu teori yang peling mudah dipahami adalah teori milik Carl Jung.
Kita sebagai subjek berada di tengah-tengah segalanya. Kita mengetahui tentang sebuah objek cenderung bukan dari objek itu sendiri, melainkan gambaran yang kita terima dan gambaran orang-orang yang sampai ke kita. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya subjektivitas yang memengaruhi persepsi kita. Sementara itu, kita dikelilingi oleh kabut yang membatasi pengetahuan kita atas objek. Kabut ini merupakan batas kesadaran atau fringe of consciousness. Bila masuk ke kabut tersebut, kebenaran semakin bias.
Di sisi lain, semakin jauh hal-hal tersebut dari subjek, selama tetap berada dalam batas kesadaran, hal tersebut menjadi semakin objektif. Oleh karena itu, pada bagian II + pada gambar tersebut, dilabeli dengan tulisan objektif. Namun, beberapa bagian dari objektif ini tidak masuk dalam batas kesadaran kita. Hal ini menandakan bahwa beberapa hal objektif pun belum bisa kita tangkap dengan jelas, walau sebenarnya hal itu objektif, seperti fakta bahwa bumi itu bulat.
Adapun hal lainnya yang jauh berada diluar area kesadaran kita adalah hal-hal yang dapat kita sebut ide atau ideal. Hal yang termasuk ide contohnya adalah titah seorang raja atau tetua suku, dimana orang zaman dahulu menganggapnya benar walau tidak mengetahui apa hal itu. Hal-hal ini adalah hal yang sifatnya abstrak. Hal-hal yang lebih jauh dari abstrak dicontohkan sebagai simbolisasi berbagai agama. Satu hal yang menarik dari bagan Carl Jung ini adalah bahwa hal yang terlalu jauh dari kesadaran kita dapat diturunkan ke lingkup lebih kecil agar masuk ke dalam diri kita, seperti titah raja atau kepala suku yang penulis contohkan tadi.
Maka dari itu, untuk berhenti memicu keributan, kita dapat melakukan hal-hal yang sudah dikemukakan oleh berbagai tokoh yang berpendapat di atas. Kita harus dapat menjaga keyakinan kita agar tidak mengganggu keyakinan orang lain dengan cara tidak menggesekkannya. Kita juga harus tau cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kita harus paham bahwa kebenaran bagi kita belum tentu benar bagi orang lain karena mungkin kebenaran yang kita bahas melampaui batas kesadaran. Apabila mau berdebat, berdebatlah mengenai hal yang objektif namun masih berada dalam batas kesadaran kita, seperti 1+1 = 2.
Sumber:
- Memori penulis
- Ernst Falzeder (2016) Types of Truth, Jung Journal, 10:3, 14-30, DOI: 10.1080/19342039.2016.1191110
- Akun line resmi Kemkominfo