Foto:brilio.net
Ramadhan tahun 2008. Seperti anak pada umumunya, aku menghabiskan momen ini bermain tak lupa pula membantu orang tua. Aku bersahabat dengan Rama, Syukur, Amin dan Azman. Mereka selalu menghabiskan waktu denganku. Ramadan hari ketiga kami berpetualang di hutan. Hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon buah-buahan antara lain mangga, nangka, jambu biji dan aneka buah lainnya.Â
Saat kami berada dibawah pohon mangga, salah seorang teman kami Azman mendapatkan buah mangga matang. Ukurannya sebesar jempol kaki orang dewasa, terletak tidak jauh dari pohonnya. Saat si Azman memegangnya, sontak kami berempat serentak mengingatkannya agar tak memakannya. Karena akan membatalkan puasanya pada hari itu. Azman tak mengindahkan itu. Ia langsung menggigit buah mangga dengan berkata "kalau hanya makan buah mangga sekecil ini tidak akan membatalkan puasa". Ujarnya dengan wajah serius.
Mendengar hal itu kami tak bisa menahan tawa, kami pun heran apa yang membuatnya sampai berpikiran seperti itu. Sedang memasukkan makanan kedalam mulut itu, tak harus besar ataupun kecil pasti membatalkan puasa. Hari itu dengan bangga, ia tetap melanjutkan puasa. Saat kejadian itu diceritakan kepada orang lain, ia tetap teguh mengatakan puasa tak batal jika memakan buah berukuran kecil.
Ibunya yang mengetahui hal itu, lantas menegurnya bahwa anggapan itu salah. Waktu berbukapun tiba, ditandai bunyi bedug menggema di langit kampung. Ramai anak-anak, remaja serta orang tua memadati masjid melaksanakan shalat maghrib.Â
Shalat maghrib dilaksanakan, kami yang rata -- rata berusia 9 tahun ditempatkan pada shaf paling akhir. Hal ini bertujuan agar kami yang bermain-main saat shalat, tak menganggu khusyuk'nya para shaf terdepan. Saat rakaat pertama imam seperti biasa membaca surah Al Fatihah. Dipenghujung surah ini, jamaah mengucapkan amin. Temanku bernama Amin, membalas kata amin dengan kata apa. Sontak membuat kami berempat tertawa terbahak-bahak.Â
Bukan hanya tawa, kami pun mengatakan kepadanya bahwa kata amin tidak ditujukan untuk dia, dan membuat suasana menjadi gaduh. Namun anehnya lagi, kejadiaan ini berulang sampai rakaat ketiga. Ketika selesai shalat, kami membawa buku panduan Ramadan untuk meminta tanda tangan imam.Â
Saat meminta tanda tangan, imam tersebut mempertanyakan siapa yang menjawab apa. Dengan kompak kami mengatakan si Amin. Ketika Amin ditanya mengapa kau jawab apa? Dengan santai ia menjawab saya kira pak imam memanggilku, karena ibuku berpesan kalau ada yang panggil namamu nak harus dijawab.Â
Pak Imam tersenyum sambil mengatakan "nasihat ibumu tidak salah nak, hanya kamu saja yang praktikkan kurang tepat. Kata amin bagian penutup dari doa, dengan harapan agar dikabulkan oleh Allah Swt".
Pernah tayang di blog pribadi saya: irfarusli.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H