Indonesia boleh bangga karena memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah. Tersedia SDA organik (biotik) yaitu sumber daya alam yang berasal dari kehidupan seperti batu bara dan minyak bumi. Selain itu, Indonesia juga memiliki anorganik (abiotik) yakni sumber daya alam yang bukan dari kehidupan. Seperti timah, bauksit, besi, dan gas alam.
Sebagai contoh berlimpahnya sumber daya alam di Indonesia. Berdasarkan aplikasi database yang dikembangkan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan NEDO. Terjadi perubahan jumlah sumber daya batubara di Indonesia. Jika sebelumnya jumlah batubara sebanyak 26 milliar ton. Sekarang mencapai 65,4 milliar ton. Sedangkan cadangan dari 2,6 milliar ton mencapai 12 milliar ton.
Namun di balik kebanggan kita sebagai warga Negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah, terbesit pula keprihatinan dan kekecewaan. Betapa tidak, sebagian besar sumber daya alam yang kita miliki tidak bisa diperbaharui. Artinya pada suatu hari nanti, sumber daya alam tersebut akan habis.
Bayangkan, pada tahun 2013 produksi batu bara mencapai 421 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 65 juta ton kebutuhan dalam negeri. Sementara sisanya diekspor ke luar negeri.
Mungkin kita mesti belajar pada China yang memiliki cadangan batubara sebanyak satu juta trilliun ton. Namun Negara tersebut tidak jor-joran mengeruk sumber daya alam seperti batubara. Begitu pula India yang memiliki 280 juta ton batubara. Bahkan power plant India bertumpu pada batubara, namun membangun hulu energi batubaranya di Indonesia.
Tentu tidak mudah merubah paradigma ekspor kita yang memang berbasis sumber daya alam. Tidak bisa dipungkiri bahwa ekspor sumber daya alam menjadi mesin ekonomi utama Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun juga tidak bisa dipungkiri fakta ekspor sumber daya alam adalah sumber penerimaan yang tidak stabil.
Tidak stabil karena setiap saat bisa terjadi perubahan harga. Jika perubahan karena mengalami kenaikan, tentu tidak masalah. Namun tidak seperti yang terjadi saat ini dimana harga batubara yang biasanya di atas US$ 100 per ton, sekarang bisa menyentuh titik US$ 84 per ton.
Sebetulnya kekuatiran terbesar tidak hanya semata-mata terletak atas ketidak normalan harga jual sumber daya alam. Namun lebih dari itu, yang tak kalah mengkuatirkannya adalah jika kelak sumber daya alam tersebut habis. Saat ini mungkin kita bisa berbangga karena memiliki banyak batubara. Namun kelak anak cucu kita hanya akan mendengar cerita bahwa dahulu kala, nenek moyangnya pernah memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Di balik geliat ekspor sumber daya alam yang demikian massif. Tak kalah masifnya Indonesia mengimpor teknologi. Seperti handphone dan berbagai jenis teknologi lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Impor ponsel di Indonesia mencapai US$ 2,8 milliar atau Rp 33,4 trilliun. Itu adalah nilai yang fantastis namun tidak perlu diherankan karena Indonesia adalah negara urutan kelima terbesar sebagai pengguna ponsel. Tercatat pengguna aktif mencapai 47 juta.
Saya tidak perlu menggurui pemerintah karena tentu mereka juga paham bahwa ponsel adalah salah satu produk potensial. Bahkan pemerintah pasti juga menyadari kecenderungan masyarakat dunia yang lebih suka mengakses informasi di smartphone daripada menonton televisi atau membaca koran. Hanya perlu sedikit kerelaan menggeser paradigma ekspor kita. Dari yang tadinya berbasis sumber daya alam dirubah menjadi berbasis teknologi.
Pikiran mengekspor teknologi seperti ponsel tentu saja hanya akan menjadi angan-angan saja saat ini. Betapa tidak, jangankan untuk kebutuhan ekspor. Bahkan untuk kebutuhan dalam negeri saja tidak terpenuhi karena sampai sekarang Indonesia belum mampu memproduki ponsel.
Namun angan-angan itu mesti dijadikan motivasi oleh pemerintah. Segera lakukan pengembangan riset teknologi. Hasil riset jangan hanya diletakkan di atas meja. Tapi hasil riset tersebut diaplikasikan menjadi kenyataan.
Bukankah Indonesia adalah bangsa yang kaya, besar, dan cerdas. Kita mesti belajar pada China yang ponsel bisa diproduksi dalam bentuk home industri. Kita mesti belajar pada Amerika Serikat dan Jerman yang menjadi Negara pengekspor senjata terbesar di dunia.
Alangkah bangganya jika suatu hari nanti Indonesia tidak lagi dikenal sebagai Negara pengekspor sumber daya alam terbesar di dunia. Tapi Indonesia lebih dikenal sebagai Negara pengekspor ponsel. Sebagai Negara yang mampu melengkapi militernya dengan senjata buatan dalam negeri sendiri. Bahkan mungkin Indonesia dikenal sebagai Negara pengekspor pesawat.
Harapan ini akan terwujud jika pemerintah terus mengembangkan riset teknologi. Bukankah pondasi-pondasinya sudah kita miliki. Mantan Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie sudah pernah memulai dengan pesawat N250 jenis Turboprop dan tekonologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang. Meski pada akhirnya pengembangan industri strategis ini ditutup oleh pemerintah.
Joko Widodo juga pernah mengembangkan mobil nasional esemka. Syahrul Yasin Limpo dengan mengembangkan mobil Moko. Sayangnya semangat tersebut perlahan mulai pudar dan mulai ditinggalkan.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 2 mei 2014, saya sempat membaca di salah satu media lokal Sulawesi Selatan (Sulsel). Dimana Syahrul Yasin Limpo selaku Pemerintah Provinsi (Pemprov) menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar untuk memproduksi smartphone lokal.
Gagasan tersebut tentu saja akan menghadapi banyak tantangan. Bahkan nyaris tidak akan pernah terwujud jika tidak melalui persiapan yang profesioal. Oleh karena itu pemerintah dan berbagai komponen yang terlibat di dalamnya mesti memberi dukungan. Mulai dari proses riset, pengembangan sumber daya manusia, ketersediaan teknologi pendukung, hingga promosi produk.
Sebagai rakyat Indonesia yang mau melihat bangsa ini lebih maju. Kita mesti menjadi bangsa yang tidak hanya mengandalkan sumber daya alam semata. Akan tetapi kita harus menjadi bangsa yang memiliki sumber daya manusia berkualitas yang mampu menciptakan produk unggulan. Mari hentikan cibiran terhadap ide cemerlang hanya karena perbedaan afiliasi politik. Kita hilangkan kegemaran bersikap sinis dan mengejek bangsa sendiri “mana mungkin orang Indonesia bisa bikin smartphone?”. Jika ada keinginan dan usaha kuat, maka bukan sesuatu yang mustahil kelak Indonesia menjadi negara pengekspor teknologi. Kita yakinkan pada diri kita masing-masing bahwa gagasan penciptaan industri strategis bermuara pada kesejahteraan rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H