Oleh Irfan Fauzi
Dalam buku Self Driving (2016), Pak Rhenald Kasali mengisahkan kejadian yang menimpa dirinya saat naik pesawat komersial amerika untuk kembali ke tanah air pada 1998. Beliau saat itu sedang menenteng tas besar dengan satu tangan. Tangan kirinya mengalami cedera dan dibalut dengan gips yang menggantung pada kain segitiga. Istrinya yang baru menjadi ibu muda sulit membantu karena sedang menggendong bayi yang usianya kurang dari satu setengah tahun.
Ditengah ketergopohan, seorang pramugari bule tiba-tiba menghardiknya. "tas tersebut tak bisa dibawa masuk, terlalu besar!" ucapnya tegas. "lalu bagaimana?" tanya beliau. "I dont know", ujar kru bule tadi dengan cuek. "We will call your agent." Ucapnya ketus. Tanpa menunggu solusi dari agen, Pak Rhenald berusaha memasukkan tas besar tadi ke dalam kabin. Beberapa penumpang lain turut membantu dengan susah payah. Akhirnya setelah menggeser dan menata tas lainnya, tas besar milik Pak Rhenald berhasil dimasukkan. Semua penumpang bersorak gembira, sambil menunjukkan ketidaksukaan pada pelayanan airline yang buruk.
Dalam kisah tersebut, Pak Rhenald menggambarkan salah satu karakter yang ditunjukkan oleh pramugari bukanlah ketegasan (assertiveness) melainkan sikap garang dan agresif. Hal ini ternyata banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari dimana kebanyakan orang akan sulit membedakan mana ketegasan mana agresifitas. Seringkali saat mengantri di sebuah loket pembayaran commuterline, tiba-tiba ada yang menyelak masuk barisan depan. Dia akan dengan cuek menggeser antrian lain hanya untuk mendapatkan barisan lebih depan. Siapapun pasti faham bahwa hal tersebut tidak sopan dan tidak beretika. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dimana kesopanan dan etika sangat diagungkan.
Kini, rasanya adat ketimuran perlahan mulai luntur dan hilang. Terlebih di kota besar, dimana setiap orang seakan dituntut untuk bergerak cepat, bekerja lebih keras, meskipun harus mengabaikan hak-hak orang lain. Mudah saja untuk mencari contoh prilaku yang demikian. Perhatikan lampu merah yang ada di sudut kota baik Jakarta maupun kota satelitnya, Bekasi, Tangerang, Depok, ataupun Bogor. Sangat jarang ditemukan pengendara motor atau mobil yang tertib lalu lintas. Lampu masih merah, tapi pengendara sudah menerobos jalanan. Contoh lain, jika di lampu merah yang padat maka ada area yang berwarna merah dikhususkan untuk pengendara motor. Namun faktanya, tak sedikit mobil atau angkot yang dengan cueknya menempati area motor tersebut.
Menjelang dan pasca musim Pilkada, kita temukan banyak sekali ucapan atau komentar yang bernada negatif, cenderung mencaci tanpa pandang usia baik di dunia offline maupun online. Mereka dengan enteng menghina sambil mengeluarkan kata-kata negatif. Semua jenis hewan mereka sebutkan. Anjing, babi, ayam, kambing bahkan hingga (maaf) diksi diksi yang bermakna kotoran. Yang terbaru, kasus penghinaan yang dialami oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Zainul Mahdi saat mengantri di sebuah airport Singapura yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Steven, yang ternyata juga warga Indonesia.
Prilaku-prilaku demikian, secara tak sadar sudah sangat membudaya bagi masyarakat perkotaan. Hal ini tentu bertentangan dengan adat ketimuran yang selama ini menjadi panutan masyarakat Indonesia. Â Rasanya, kalau tidak salah generasi-generasi yang saat ini tumbuh menjadi generasi Milenial, adalah mereka yang mengenyam pendidikan budi pekerti saat di bangku sekolah dasar dulu. Dalam pelajaran tersebut setidaknya, sudah diajarkan bagaimana berprilaku yang baik dan berbudi yang luhur. Namun, kelemahanya adalah budi pekerti hanya diajarkan dalam ranah teoretis dan minus praktik. Maka tidak heran, prilaku negatif dan tak beretika cenderung berkembang di era digital yang memungkinkan masyarakat mendapatkan akses secara mudah terhadap informasi.
Dalam ulasan Pak Rhenald, setidaknya ada tiga jenis karakter bagi kebanyakan masyarakat perkotaan saat ini. Pertama, mereka yang dominan, karakter dominan ini bukanlah dalam konteks yang positif. Mereka bertindak dan berucap terlalu agresif bahkan cenderung garang hanya untuk mempertankan kebenaran menurut sudut pandang yang subjektif. Dalam kasus yang lebih parah mereka akan cenderung menggunakan sikap agresifnya untuk mengelak dan mengabaikan hak-hak orang lain demi pencapaian keinginan pribadi.
Kedua, mereka yang resesif. Karakter ini cenderung pasif dan terlalu toleran terhadap keinginan orang lain. Bahkan mereka cenderung mengalah meskipun hak-hak individunya dihilangkan oleh orang lain. Contoh kecilnya, saat antri dalam pembayarat loket, mereka akan mengalah saat ada orang lain yang menyelak dengan beralasan tidak ingin memperpanjang masalah.
Nah, di tengah-tengah kedua karakter tersebut ada karakter ketiga, yaitu mereka yang pasif-agresif namun sarkastik. Mereka tidak terima diserobot, tetapi tidak berani menegur atau memperbaik cara-cara yang tidak tepat. Mereka berbicara kasar, sinis, nyinyir, tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, atau lewat sosial media dengan nama samaran.
Tentunya, ketiga karakter tersebut bukanlah karakter ideal. Maka untuk mengimbanginya perlu ditanamkan sebuah sikap ketegasan (assertiveness) yang proporsional. Sikap assertive adalah sikap yang mampu mengungkapkan ketidaknyamanan dan unek-unek secara terbuka namun dengan seni yang tinggi tanpa merendahkan martabat orang lain. Malah mereka yang dikritik dapat menerima secara respek karena disampaikan dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti perasaan. Sikap ini tidak akan didapat secara tiba-tiba. Butuh waktu dan latihan untuk menumbuh kembangkan sikap assertive. Akan lebih baik jika sikap assertive ini dibiasakan sejak dini terhadap anak-anak kita.