Seperti biasa aku tak merespon. Aku hanya tersenyum sedikit sambil berbaring menatap lobang-lobang di dinding kamar kandangku yang cahayanya semakin redup karena hujan deras turun.
Aku mengingat kembali bagaimana masa laluku sampai berada di tempat ini. Seorang Parman Sukiman, pemuda asal Jawa Tengah yang bermimpi untuk mendapatkan beasiswa kuliah di universitas ternama di Yogyakarta. Pemuda yang orang tuanya tidak mampu membayar kuliah karena kondisi ekonomi rapuh. Pemuda yang sangat berambisi, cerdas dan selalu juara saat duduk di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Kuingat saat ayahku menitipkan pesan terakhir sebelum pergi untuk selamanya, "Man, bermimpilah yang tinggi. Kalo tak tercapai, bangunlah dari tidurmu dan terima kenyataan yang ada," ucap beliau terbata-bata.
Saat itu, kata-katanya kuabaikan begitu saja. Aku sangat berambisi untuk mencapai cita-citaku sebagai Duta Besar di negara Timur Tengah. Bukan tak beralasan, aku menguasai 5 bahasa dunia yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Arab, dan Rusia. Semua kupelajari secara otodidak. Entahlah, mungkin Tuhan memberiku kelebihan dari orang lain dibalik kekuranganku. Bagiku, membaca saja sudah membuatku paham belajar bahasa asing.Â
Ayahku rajin membelikan buku-buku bajakan yang ada di pasar loak. Beliau sadar kalau aku punya minat dan bakat yang tinggi di bidang bahasa. Namun, ayahku juga sadar kalau mimpiku untuk menjadi duta besar di negara Timur Tengah tidaklah mungkin terwujud. Jangankan biaya kuliah, makan setiap hari saja keluargaku sudah sulit.
Perlahan, mataku mulai terpejam karena kantuk. Lamunan mengenai masa lalu mulai berantakan tak berarah. Kadang kuteringat dua adik kecilku yang merengek minta dibelikan mainan truk pengangkut pasir pada ayah. Kuteringat juga ibu yang sering pinjam sana sini hanya untuk bisa memasak setengah liter beras miskin dan 1 butir telor ayam dibagi untuk makan empat orang.Â
Kadang lamunan juga melompat ke masa pertama kali aku mengajukan beasiswa ke kampus impianku. Namun saat ingat ditolak, secara refleks tanganku mengepal dan berteriak, "Tidak...."
Jantung berdegup kencang jika aku ingat tiga kali telah mengajukan lamaran beasiswa di kampus itu. Sudah tiga kali pula aku ditolak. Sejak itu, amarah muncul jika mendengar kata beasiswa.
"Man, gak ke kampus?" teriak Mak Mijah dari balik pintu.
Seperti biasa aku terdiam tapi bergegas karena melihat sinar matahari sudah begitu terang dan menyinari seisi kandangku.
Aku tak mandi karena merasa tetap bersih. Orang-orang yang mandi setiap hari saja masih kelihatan kotor dengan kemunafikan.