Mohon tunggu...
Irfan Ansori
Irfan Ansori Mohon Tunggu... lainnya -

sang Filsuf Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mahasiswa dan Pengabdian Masyarakat

21 Januari 2014   21:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa waktu ini, perhatian tahun politik kita teralihkan oleh pemberitaan tentang bencana yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kita semua merasa prihatin dan peduli. Oleh karenanya, munculah beberapa aksi penggalangan dana di beberapa kota yang dilakukan oleh beberapa kalangan masyarakat. Tak ketinggalan pula, mahasiswa serempak menyelenggarakan kegiatan kepedulian tersebut di beberapa titik pusat keramaian, seperti kampus, jalanan dan alun-alun kota.

Penulis termasuk salah satunya. Tanpa berfikir panjang, langsung bergabung dengan rombongan mahasiswa yang berangkat menuju jalan raya, sembari membawa kardus yang bertuliskan, PEDULI MANADO Dan SINABUNG. Mayoritas mahasiswa memang menganggap kegiatan ini sebagai salah satu aksi kepedulian dan wujud pengabdian masyarakat, sebagaimana tersurat dalam poin 3 dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT).

Namun entah kenapa. Pikiran saya terusik oleh ucapan salah seorang pengendara mobil, yang hendak memberikan apresiasi atas kegiatan ini sembari memasukan beberapa jumlah rupiah. “Nah, begini dong kalau jadi mahasiswa, mengabdi kepada rakyat yang lagi kesusahan. Jangan malah demonstrasi yang anarkis dan merusak fasilitas umum.” ujarnya. Namun saya hanya sempat membalas senyuman kecil, berhubung dia sudah langsung tancap gas karena rambu lalu lintas sudah hijau.

Sejak saat itu, saya mulai bertanya-tanya. Bagaimanakah sosok mahasiswa ideal yang dipersepsikan masyarakat? Apakah mahasiswa yang dapat lulus cepat dengan IPK yang tinggi? Atau mahasiswa yang sering melakukan pengabdian sebagaimana aksi tadi? Meskipun begitu, tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan hasil penelitian, tentang mana yang terbaik di antara keduanya. Dan bukan untuk mengajak pembaca memilih salah satu. Hal ini, tak lain karena jawabannya sudah dipaparkan dalam Tri Dharma perguruan tinggi.

Pantaskah?

Namun, satu pertanyaan yang paling mengusik pikiran adalah, apakah kegiatan penggalangan dana yang saya lakukan di jalan tersebut, layak untuk disebut pengabdian? Karena menurutku, kegiatan mahasiswa seperti itu tak ubah layaknya kegiatan partai politik. Menjadi “baik” hanya saat kampanye dan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Setelah itu, lenyaplah seketika. Tak jauh berbeda dengan aksi penggalangan dana oleh mahasiswa, hanya ramai saat terjadi bencana.

Apakah mereka lupa bahwa masih banyak daerah Indonesia yang belum tersentuh listrik bahkan pakaian yang layak? Kemanakah mereka saat itu? Adakah yang sengaja melakukan penggalangan dana untuk mereka? Apakah harus selalu diliput media massa? Atau mungkin dengan kegiatan ini, mahasiswa hanya ingin mencari muka, karena terbebani oleh titel “penerus bangsa” dan “agent of change”?

Menarik jika kita mencermati dialog antara Hatta dan Sjahrir saat masih menjadi mahasiswa di Belanda. Saat itu, Sjahrir ijin pamit kepada Hatta karena ingin untuk berpulang ke Indonesia dan tak melanjutkan studinya. Seketika Hatta kaget dan bertanya tentang masa depannya jika tak melanjutkan kuliah. Maka saat itu Sjahrir menjawab dengan kata-kata yang sering banyak dikutip oleh beberapa penulis: “Masa depanku ada di rakyat-rakyat kecil dan miskin yang ada di Indonesia. Mereka lebih membutuhkanku saat ini.” Meskipun begitu, Hatta mencoba mencegah dan meyakinkan bahwa akan lebih bermanfaat jika pulang ke Indonesia dengan membawa banyak ilmu setelah menuntaskan kuliah di sana. Namun Sjahrir tetap teguh pendirian untuk tidak melanjutkan kuliah dan memutuskan untuk mengabdi kepada rakyat.

Akhirnya, kita dapat saksikan bersama, bahwa ternyata keduanya berhasil menjadi tokoh nasional yang memimpin Indonesia menuju kemerdekaan. Sjahrir dengan pengabdian masyarakatnya, Hatta melalui keintelektualannya. Maka, bercermin pada kisah tersebut, jelaslah bahwa jiwa pengabdian masyarakat ala Sinterklas yang telah kita lakukan selama ini tidaklah tepat.

Setidaknya mahasiswa dapat berpedoman kepada buku Pengadian Masyarakat yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) 2013 menyebutkan bahwa, diantara tujuan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi adalah memberikan solusi  berdasarkan  kajian  akademik  atas  kebutuhan,  tantangan,  atau  persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung dan melakukan kegiatan yang mampu mengentaskan masyarakat tersisih (preferential option for the poor) pada semua strata, yaitu masyarakat yang tersisih secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Nilai dan Paradigma

Meskipun begitu, kegiatan yang diselenggarakan oleh Dikti, seperti terwujud dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut. Bahkan ajang PKM seringkali diplesetkan menjadi Program Korupsi Mahasiswa. Maka saya sempat setuju dengan pernyataan kontroversial Marzuki Alie yang menyebutkan bahwa, kebanyakan koruptor berasal dari orang-orang berpendidikan di beberapa Perguruan Tinggi ternama.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendekonstruksi konsep pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh para mahaiswa. Seharusnya, pengabdian masyarakat dapat menjadi sebuah nilai dan paradigma berfikir yang harus terus-menerus didengungkan, baik saat menjadi mahasiswa maupun sarjana. Barangkali nilai-nilai yang diambil dari kisah Sjahrir tersebut, dapat menjadi acuan bagi mahasiswa yang hendak melakukan pengabdian masyarakat. Mungkin itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun