Beberapa waktu ini media sosial dihebohkan oleh keputusan seorang guru PNS bersertifikasi yang memilih untuk mengundurkan diri sebagai PNS dengan alasan tertentu. Keputusan yang terbilang berani ini menarik perhatian publik ketika diketahui bahwa guru tersebut telah sukses membangun karir sebagai konten kreator.
Tidak dipungkiri bahwa saat ini perkembangan teknologi digital telah merombak lanskap berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Salah satu fenomena menarik yang muncul adalah kehdiran guru menjadi konten kreator. Guru-guru yang tadinya hanya beraktivitas di ruang kelas kini menjelajahi dunia maya untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kegiatan menjadi konten kreator dapat berjalan seiring dengan tugas utama seorang guru sebagai pendidik?
Di satu sisi, kehadiran guru sebagai konten kreator menawarkan sejumlah manfaat. Dengan memanfaatkan platform digital, guru dapat menjangkau audiens yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada siswa di kelasnya. Materi pembelajaran yang dikemas secara kreatif dan menarik dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain itu, guru juga dapat membangun komunitas daring yang memungkinkan terjadinya diskusi dan kolaborasi yang lebih intensif.
Namun, di sisi lain, fenomena ini juga menimbulkan sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran. Apakah dengan menjadi konten kreator, guru masih memiliki waktu yang cukup untuk menjalankan tugas-tugas pokoknya, seperti menyusun rencana pembelajaran, memberikan penilaian, dan memberikan bimbingan kepada siswa? Ada kekhawatiran bahwa kegiatan membuat konten dapat mengalihkan perhatian guru dari tugas utamanya sebagai pendidik.
Tanggung Jawab
Secara filosofis, fenomena ini menyentuh persoalan etika profesi guru. Seorang guru memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada siswa. Pertanyaannya adalah, apakah kegiatan membuat konten edukasi di media sosial dapat dianggap sebagai bagian dari tugas profesional seorang guru? Atau apakah kegiatan ini lebih bersifat sampingan dan tidak terlalu relevan dengan tugas utamanya
Selain itu, muncul pula pertanyaan: spakah semata-mata karena panggilan hati untuk berbagi ilmu, atau ada faktor lain seperti keinginan untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan finansial? Jika motivasi utama adalah untuk mencari popularitas, maka hal ini dapat mengarah pada komodifikasi pendidikan, di mana pengetahuan dan pembelajaran lebih diutamakan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Kehadiran guru sebagai konten kreator menuntut adanya kerangka regulasi yang jelas. Di satu sisi, kita perlu memastikan bahwa konten yang dihasilkan tidak melanggar hak cipta, baik itu materi ajar yang digunakan maupun karya original guru itu sendiri. Di sisi lain, regulasi juga perlu mengatur penggunaan citra siswa dalam konten yang diunggah. Perlu ada batasan yang jelas untuk melindungi privasi siswa dan mencegah eksploitasi.
Guru sebagai konten kreator juga perlu memahami tanggung jawab hukum yang melekat pada konten yang mereka produksi. Jika konten yang dibuat mengandung informasi yang salah atau menyesatkan, guru dapat dituntut secara hukum. Begitu pula jika konten tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat memicu perpecahan atau ujaran kebencian.
Guru sebagai konten kreator harus selalu mengedepankan nilai-nilai profesionalisme dalam setiap konten yang dihasilkan. Konten yang dibuat harus bersifat edukatif, objektif, dan tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merendahkan martabat profesi guru.