Oleh : Irfan Ansori
(Mahasiswa Fakultas Agama Islam, UMS. Koordinator LPIK IMM Cabang Sukoharjo)
Solo dikenal sebagai tempat persemaian berbagai kelompok ideologi. Bisa pula dikatakan, Solo sejak dulu telah menjadi barometer Indonesia. Tak kebetulan nampaknya, bila mantan walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) yang baru saja mendeklarasikan diri sebagai capres, menjadi sosok yang paling potensial memenangi rivalitas menjadi orang nomor satu di Indonesia, pada Pemilihan Presiden tahun ini.
Kota Solo telah mewarnai berbagai aktivisme pergerakan kemerdekaan, berangkat dari kemunculan organisasi Sarekat Dagang Islam—kemudian menjadi Sarekat Islam—yang dikomandoi oleh K.H. Samanhudi, saudagar Batik asal Laweyan. Peristiwa monumental inilah yang berhasil menyulut api pergerakan nasional. Sudah terlampau banyak sejarahwan dan ilmuan sosial menilik Solo sebagai labolatorium utama penelitian tentang kebudayaan Jawa, yang mewarisi kebudayaan dan politik Mataram. Dinamika konflik Keraton Solo pun selalu ramai diperbincangkan.
Bahkan, terasa menyentak saat kita mengupas stigma Solo sebagai kota bersumbu pendek. Kesaksian ini disematkan oleh para sarjana karena mudahnya gesekan-gesekan sosial memicu kekerasan. Peristiwa-peristiwa kekerasan cukup besar pernah terjadi di kota ini. Diantaranya, antagonisme kelompok Islam militan dan kelompok “kiri, hingga etnis Tionghoa versus saudagar pribumi di bidang ekonomi.
Kelahiran Gerakan Mahasiswa
Tak lupa, gerakan oposisi mahasiswa Solo menjelang reformasi, memicu terjadinya aksi ‘kekerasan’ di Jakarta hingga berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru. Adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), salah satu pergerakan mahasiswa yang mempunyai romantisme panjang bersama kota ini.
Terbentuk pada 14 Maret 1964, IMM kemudian mengadakan Muktamar pertama pada 1-5 Mei 1965 bertempat di Kota Barat, mengantarkan Drs. Djazman Al-Kindi—juga merupakan figur dibalik kesuksesan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) saat ini—menjadi ketua umum pertama kalinya, untuk kemudian dikukuhkan pula sebagai pendiri IMM.
Selain itu, satu hal yang patut dicatat adalah, saat berlangsungnya Muktamar tersebut situasi bangsa dan ormas mahasiswa sedang dalam keadaan loyo dan sempoyongan, gara-gara asap kota Madiun yang terberontak PKI sekitar tahun 1948-1965. Pemberontakan PKI terjadi di mana-mana, yang kontan tercatat dalam sejarah bahwa, Jawa Tengah—terutama Solo—termasuk basis PKI. Tahun 1963-1965 merupakan era kejayaan PKI. Namun, pada saat-saat itulah IMM bangkit, sementara PKI pun di setiap tempat sedang mengatur strategi untuk merebut kekuasaan RI. Puncaknya terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang kini dikenal dengan gerakan 30 September (G 30 S PKI).
Menurut Sejarahwan IMM, Farid Fathoni (1990) dalam buku Kelahiran yang Dipersoalkan bahwa, secara historis kehadiran Munas (Musyawarah Nasional) IMM ke-1 merupakan langkah politis yang tepat untuk menanamkan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI, sekaligus menambah kekuatan ormas-ormas Mahasiswa termasuk HMI. Pada saat itulah, IMM membuahkan deklarasi yang terdiri atas enam poin, diantaranya; (1) IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam, (2) Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM, (3) Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan dinamisator). (4) Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM. (5) IMM adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku. (6) Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Langkah Setengah Abad
Namun begitu, Solo selalu saja membuat merindu. Maka, pada usia IMM yang baru saja merayakan milad setengah Abad (50 tahun),pada beberapa hari, digelarlah sebuah pentas teater di taman budaya Jawa Tengah, Solo. Kemudian pada Bulan Mei mendatang, kota ini mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah muktamar IMM ke-XXV yang berpusat di kampus UMS dan Asrama Haji Donohudan. Solo (sekali lagi), akan menjadi ‘gelar’ kota yang sering muncul dalam literatur pergerakan mahasiswa.
Terbentuknya spirit: Menyulut Api Kebangkitan IMM sehaluan dengan iklim kota Solo yang notabene diujar sebagai ibukota revolusi. Namun daripada itu, perlu dipikirkan bahwa  perkara tersebut berada dalam tahun politik. Oknum tertentu akan coba menunggangi momen tersebut sebagai peluang (opportunity), agar suara IMM dapat berpihak pada partai politik tertentu.
Terakhir, gerakan ini sudah berkembang di berbagai penjuru nusantara, terutama di perguruan tinggi Muhammadiyah yang ratusan jumlahnya. Sebuah potensi yang seharusnya bisa ditangani dan dibenahi secara serius, sehingga dapat bertransformasi menuju gerakan militan dan progresif, demi tewujudnya akademi Islam yang berakhlak mulia sesuai dengan tujuan IMM. Ingat pula bahwa "Allah akan utus pada umat ini (umat Muhammad) di awal setiap 100 tahun seorang yang membaharui urusan agama," (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Ingat IMM, Ingat Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H