Mimpi dan cita menimbulkan penantian. Menunggu dan merindu sepanjang waktu. Samuel Beckett menulis buku berjudul an Ettendant for Godot. Sebuah lakon prosa dan teater absurd peraih hadiah nobel. Mengisahkan dua anak manusia terasing yang digambarkan sebagai gelandangan: Vladimi dan Estragon. Kedua orang ini sama-sama menunggu sesuatu yang disebut “Godot”.
Guna mengisi waktu penatian yang tak bertepi itu, mereka ngobrol ngalor ngidul. Namun yang ditunggu tak pernah datang. Mereka menunggu hingga percakapan habis dan terpaksa mengulang kembali percakapan dari awal. Bahkan hingga layar diturukan dan lampu ruang pertunjukan nyala. Godot tak pernah muncul.
Tak berlebihan kiranya, jika alur cerita tersebut nyaris sama dengan potret bangsa ini. Absurditas negara kita sudah tak bisa ditutup-tutupi lagi. Dalam umur yang sudah memasuki masa uzur (69 tahun), Indonesia telah mengalami Enam masa kepemimpinan, beserta sistem yang menyertainya. Nyatanya, belum ada satupun yang mampu membawa rakyat “tanah surga” ini, menikmati hasil kekayaan alamnya, merukuni perbedaannya, membangun identitas serta kesadaran menjaga lingkungan.
Akankah godot muncul pada pemilihan presiden (pilpres) tahun ini? Tentu saja kita layak berharap, meski harus menanti sekian lama—atau bahkan mustahil terjadi. Saat ini, saya mengajak pembaca untuk sama-sama memerankan sosok Vladimi ataupun Ertagon. Menggoyang imaji dan narasi tentang Indonesia—lebih tepatnya pemimpin Indonesia.
Menuju Transformasi
Kali ini, ijinkan saya 100 hari menjadi presiden. Dalam waktu sesingkat itu, saya ingin sekali berkontribusi bagi keberlangsungan bangsa ini. Memenuhi hasrat nurani yang selalu tertutupi. Bukan lagi janji manis, melainkan sebuah konsepsi praksis. Bukan “auman” perubahan yang utopis, melainkan gebrakan kritis. Juga bukan omong kosong dan mimpi siang bolong.
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga tradisi. Namun, arus modernitas menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadap budaya. Budaya Indonesia sedang kebingungan di persimpangan jalan.
Oleh karenanya, saya tak ingin terjadi permasalahan ekonomi menjepit pewaris kebudayaan, sehingga mereka berani melakukan penyelewengan dengan menjual warisan kebudayaan. Saya ingin menentukan arah kemana budaya akan dibawa. Melalui penyusunan strategi dan langkah konkret, merupakan keniscayaan bagi penempatan posisi kebudayaan Indonesia di pentas dunia.
Saya greget untuk melestarikan lagu – lagu daerah. Mereka yang kian tergerus oleh lagu-lagu kontemporer yang dianggap lebihmodern. Lagu-lagu daerah Indonesia sangat mudah untuk direbut oleh negara lain. Maka, tak akan ada lagi kasus klaim Rasa Sayange oleh negara Malaysia. Saya akan buka sayembara bergengsi, bagi musisi dan peneliti yang paling banyak berlomba melestarikan lagu daerah.
Saat ini, keberagaman masih dianggap sebuah jurang pemisah dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan bahasa memberikan persepsi bahwa kita berbeda dan tak mungkin bersatu. Banyak tembok penghalang untuk memanfaatkan kebhinekaan untuk menjadi suatu kekuatan mencapai tujuan Indonesia. Saya ingin langsung turun tangan untuk “menseriusi” konflik yang terjadi atas nama perbedaan.Bhinekka Tunggal Ikaharus benar-benar menjadi semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemudian, masalah lingkungan di Indonesia menjadi problem abadi keneragaan. Penyebab masalah lingkungan terbanyak adalah masyarakat Indonesia sendiri. Pemerintah harus mendorong program yang perlu dilakukan dalam usaha melestarikan lingkungan hidup. Seperti rekonsiliasi, perubahan konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari.
Dengan titel bapak Presiden, saya akan mengajak masyarakat untuk peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak lingkungan. Kekuasaan besar yang saya miliki, akan secara maksimal digunakan untuk menindak tegas pabrik yang mencemari lingkungan. Bila perlu, pabrik yang membandel terpaksa harus ditutup.
Sampai saat ini, Indonesia yang berpenduduk 235 juta hanya memiliki wirausahawan 1,56% dari total populasi. Negara ini masih butuh banyak wirausahawan untuk mendorong gerak ekonomi Indonesia yang mandiri. Maka, pemerintah harus membuka peluang kerja yang besar. Namun hal terpenting sebagai pemimpin tertinggi, saya ingin dorong rakyat untuk memiliki etos kerja keras, kejujuran, ketangguhan, dan kreativitas. Hal itu menjadi syarat mutlak jiwa wirausahawan.
Demokrasi mensyaratkan persemaian diskrusus sehat dalam masyarakat. Sebagai pemimpin di negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, saya ingin membuka ruang dialog dan public sphere seluas-luasnya. Namun, semua harus tetap kewaspadaan tinggi. Demokrasi bagaikan dua mata pisau tajam. Organisasi massa yang hobi melakukan kekerasan bisa tumbuh berkat demokrasi, namun mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri. Negara harus menjadi penyelamat demokrasi.
Menuju Indonesia bebas korupsi adalah sebuah cita-cita bersama. Sepenuhnya, saya ingin memperbesar tega. Ikhtiar menuju Indonesia bebas korupsi ini akan selalu membawa frustasi yang mendalam. Karena korupsi bisa saja beredar di sekitar kita. Pengurus partai, orang kepercayaan, anak buah bahkan keluarga sewaktu-waktu akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya tak boleh menghalangi, melainkan harus memperkuat dukungan bagi mereka, KPK. Bahkan saya akan mendorong kebijakan penambahan penyidik sesuai kebutuhan mereka. Indonesia harus bebas dari pendiktean bangsa lain.
Waktu 100 hari adalah pertaruhan. Kinerja pemimpin masa depan dapat jelas teramalkan dari hasil kinerja selama itu. Pasca 100 hari, saya berani mundur secara jantan, jika rakyat menghendaki pemimpin yang lebih baik. Pemimpin ideal dalam demokrasi adalah kumulasi dari kepemimpinan individu. Mungkin itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H