Seharian tadi saya disibuki oleh keluhan teman seperjalan. Mulai dari titik awal keberangkatan kami hingga beberapa titik-titik tujuan kami. Memang seharian tadi kami berpindah-pindah lokasi tujuan. Agak capek juga telinga saya menampung keluhan teman ini. Tapi biarlah sebagai teman yang baik maka saya jadi pendengar yang baik.
Awal keluhan teman saya terjadi karena pada saat putar balik kendaraan yang kami tumpangi dicegat sekelompok remaja penjaga tikungan. Gerutuan awal muncul. "Baru saja keluar cari nafkah. Sudah di palak. Susah memang hidup di sini. Dikit-dikit uang. Mau muter balik aja harus setor uang. Hilang deh seribu rupiah". Reaksi saya cuma tersenyum. Pandangan saya fokus ke depan. Tetap konsentrasi menyetir. Suara teman saya seperti berlomba-lomba terdengar dengan suara musik dan kebisingan lalu lintas pagi.
Wilayah bintara bekasi barat, setiap pagi jam 6 seperti diserang kepanikan massal. Ribuan sepeda motor seperti mengamuk menyerbu jalan. Mereka keluar dari ratusan Gank yang ada. Belum lagi dari berbagai jenis mobil yang menambah sesak jalan di pagi ini. Untung suara renyah dan konyol penyiar radio kesayangan saya mengobati keruwetan pagi. Sepertinya teman saya sudah rada tenang. Pokok bahasannya sudah memasuki tema-tema lain. Sekali dua kali saya timpali.
Saya berusaha sekuat tenaga menjaga ketenangan pikir dan rasa saya. Dus menghadapi provokasi kondisi pagi bisa merusak mood kita. Pagi ini memang tidak terlalu kusut. Beberapa simpangan dan lampu merah mulai dari bintara sampai pondok kopi aman terlewati tanpa gangguan berarti. Kami sengaja melewati jalan casablanca begitu melewati pondok kopi, untuk mempersingkat waktu.
Menjelang perempatan buaran, perlahan kendaraan mulai berhenti. Antrian karena lampu merah mengular. Kesempatan ini dipakai oleh pedagang asongan, pengamen dan pengemis untuk mengais rejeki. Lampu pengatur lalulintas buara memang terkenal lama. "Bisa ngopi dua gelas" ujar anekdot tentang lampu merah ini. Memang cukup menguji kesabaran. Begitu juga teman saya. Demi melihat silih bergantinya asongan, pengamen dan pengemis yang menghampiri mobil kami, meledaklah gerutuannya. Berulangkali dia menggumam ketika silih berganti para pengais rejeki jalanan menempel di kaca mobil. Rupa-rupa tingkah lakunya.
Pedagang asongan beragam produk dijajakan. Pengamen beragam gaya, suara dan alat musik yang dimainkan. Untung-untung kami dapat yang bersuara rada merdu. Tapi tetap ada apes-nya. Biduanita bersuara ngebas dengan tingkah kebapakan, cukup membuat teman saya "mengeluarkan tanduk" dengan kepala "berasap".
Suara kecrekan tutup botol yang menyayat telinga serta suara nyanyian dengan irama salto sana sini, meluluhlantakan ketenangan teman saya. Pengemis sama saja. Karakter watak dengan balutan properti menjadi satu dalam strategi menyentuh rasa iba para pengendara pagi. Bermacam-macam bentuk dan gayanya. Saya tidak tahan menahan tawa melihat penderitaan teman saya. Pingkal demi Pingkal tawa mengalir begitu saja dari mulut saya. " Diamput malah diketawain lagi. Lihat dikasih satu malah datang teman-temannya" kata teman saya kesal. Niat saya mengakhiri siksaan bathin teman saya dengan memberi uang receh sekedarnya. Namun seperti peribahasa esa hilang dua terbilang, justru yang menghampiri lebih banyak lagi. Lampu hijau akhirnya menyudahi derita teman.
Kami melanjutkan perjalanan menuju titik tujuan kami di daerah blok m. Ada 6 lampu lalu lintas yang kami lewati lagi sampai menuju blok m. Ada kejadian berulang seperti di buaran. Belum lagi menuju 2 lokasi pertemuan lainnya. Ditambah arah pulang, dalam seharian itu kami menjumpai 18 lampu lalu lintas yang kondisinya sama dengan buaran.
Jelang sampai di rumah pembahasan tentang "uang receh" terus jadi pokok bahasan. "Coba pikirkan fan, seharian tadi kalau saya hitung kita sudah keluar uang hampir 150ribu dalam bentuk uang receh. Semuanya hampir kebagian. Mulai dari pak ogah, pengamen, asongan, pengemis, juru parkir, pelayan warung sampai satpam. Apa ga tekor kita. Anehnya kenapa dari ratusan mobil saat kena lampu merah, mobil kita yang paling sering didatangin...??" saya hanya senyum-senyum ga jelas menanggapinya. "Gw rasa bro, apa yang ada di jakarta semua serba komersial. Apa-apa harus bayar. Ga jelas emang. Kenapa mereka ga kerja aja, daripada habisin isi kantong orang". Sekali lagi saya senyum ga jelas. Bukan sok kul atau sok sabar. Memang saya asli bingung apa yang mesti saya tanggapi. "Ini pemerintah manjakan mereka sih. Jadi mereka seenaknya berbuat seperti itu. Harus ditindak tegas. Mereka ga hanya di lampu-lampu merah loh bro. Hampir disetiap waktu dan tempat selalu ada.
Pernah gw lagi asik duduk diteras rumah, ga lama tiba-tiba nongol pengemis. Terus beberapa menit kemudian muncul pengamen. Eh ga lama sales sepatu datang. Belum lagi pedagang. Wah bisa geger otak sama kantong nih..." Tetap kok saya cuma senyum-senyum ga jelas, menanggapinya. Sumpah deh. "Untung tadi gw ga banyak ngasih. Jadi lo yang rugi banyak hari ini. Sok beramal sih bro, jadi kempes tuh dompet" Nah kalau yang ini saya tersenyum pahit. Hiks.
"Bro daritadi senyam senyum aja, tanggapin kek. Emang gw ngomong sama manekin apa...?? Dia memaksa saya bicara. Mungkin sudah capek ngoceh kali ya.."Ya terus gw mesti ngomong apa. Mereka yang dari pagi bro omongin itu agen-agen Tuhan. Ga bisa ditahan. Biarin aja jangan di ganggu, nanti kualat" Teman itu pasang wajah melongo. "Maksudnya agen tuhan....?? kaya film 007 aja". Weleh bisa panjang nih obrolan, kataku dalam hati. "Iya agen tuhan. Khusus nginteli orang-orang pelit macam kamu" ujarku sinis. "Semprul, koq gw pelit. Justru gw bro, coba irit. Lagian ga mau ajarin mereka malas. Lumayan kan bisa nabung uang kalau irit". Masih ngeyel, jadi diskusi berlanjut.
"Namanya juga agen tuhan. Mau ditahan itu uang juga pasti keluar bro nantinya. Bisa lewat saluran mana saja keluarnya. Tadi saya keluar 130 ribu. Kalau tidak keluar karena "dipalak" agen Tuhan, pasti nanti juga keluar. Karena dari awal saya berangkat kerja, uang itu sudah di akadkan sebagai sangu". Itu kalimat saya sebelum sampai rumah kembali.
Mengenai istilah Agen Tuhan itu hanya istilah yang saya karang sendiri. Awalnya saya sama seperti teman saya itu. Merasa heran dengan fenomena Agen-agen Tuhan. Suatu ketika saya diingatkan oleh emak saya tercinta. Untuk selalu mengeluarkan zakat 2,5% dari setiap rezeki yang saya dapat. Tidak menjadi persoalan apakah rejeki itu besar atau kecil. Zakat menurut emak saya dapat menyucikan harta kita. Juga dapat memperpanjang rezeki kita. Sampai disitu saya heran kok bisa zakat memperpanjang rejeki. Kaya Mak Erot saja pikir saya waktu itu. Masih menurut emak saya, zakat selain sebagai ibadahikhlas karena Allah ta'ala, dapat juga sebagai tabungan virtual kita. Uang yang dipakai zakat akan kembali lagi dalam bentuk rezeki yang tiada putus. Bahkan dapat kembali lagi berlipat-lipat. Nah kalau istilah itu katas Ustadz sebelah, bukan kata emak saya. Jadi Tuhan maha baik. Zakat yang dikeluarkan diganjar pahala untuk kelak bekal akhirat saya. Plus dikasih bonus tabungan virtual rezeki, untuk bekal dunia saya.
Maka dari diskusi khusus saya dengan emak tercinta, saya mulai giat berzakat dan beramal. Jika dulu saya sama marahnya dengan teman saya, sekarang saya "ringankan" tangan jika Agen-agen Tuhan mendatangi saya. Walau rupa, bentuk dan kejadiannya berbeda-beda. Saya meyakini bahwa mereka dikirim Tuhan untuk memberikan peluang pada kesempatan pertama untuk beramal dan ibadah. Saya juga meyakini, walau kadang malu dan merasa tidak enak kepada Tuhan, karena lebih diperhatikan serta didahulukan dibandingkan yang lain. Ini buka GR loh...??? tapi teman saya yang bawel itu juga mengakui bahwa dari sekian banyak mobil di lampu merah, kenapa mobil yang kita tumpangi paling sering di datangi Agen-agen Tuhan. Bahkan ketika kami di rumah makan untuk santap siang, Agen Tuhan menyamar sebagai pelayan warung yang berharap tips dari kami. Alhamdulillah sejak saat itu, walau tidak berlipat-lipat, rezeki saya tiada putus.
Tiba di rumah waktu masih menunjukan jam 5 sore lebih sedikit. Cukup tepat untuk menikmati secangkir kopi. Saya meminta tolong kepada solmed saya untuk membuatkan 2 cangkir kopi. Teman saya yang suka mbra mbro itu saya ajak duduk di belakang rumah. Kebetulan antara depan dan belakang rumah berhadapan dengan jalan. Bedanya depan jalan utama dan belakang jalan lingkungan. Kami berdua mencari posisi ueenaakk untuk duduk. Cukup "deprokan" santai. Kopi dengan asap mengepul dan sepiring tahu isi panas, segera tersaji. Tidak percuma saya pilih dia sebagai istri. Selalu paham apa yang menjadi kesukaan yayangnya.
Sedang asik menikmati kopi dan tahu isi. Bilal anak saya berumur 5 tahun, yang sama bawelnya dengan si mbro teman saya itu datang bersama gerombolan temannya. Dia tanpa banyak basa-basi langsung bicara ke teman saya. Kebetulan memang mereka sudah sohiban. "Om aku beliin somay dan eskrim dong. Boleh ga om...?? kemarin om janji kan....??". Si mbro ini memang suka sama anak saya. Katanya bilal pintar dan cerdik. Kelak dewasa si mbro mau jodohin bilal dengan satu-satunya anak perempuan si mbro. Kebetulan umurnya tidak beda jauh. Saya sih setuju saja, asal si mbro yang keluarkan biaya nikahnya. Kalau perhitungan, saya tidak mau. Begitu canda saya ke si mbro.
Akhirnya si mbro keluarkan uang 100 ribuan untuk bilal dan gerombolannya. Mungkin ada 10 orang temannya. Saya membiarkan saja perilaku bilal seperti itu. Kemudian Sesegera dan sesingkat mungkin begitu serah terima uang itu selesai, bilal dan gerombolannya sirna dari hadapan kami.
Sepertinya tidak mengenakan jika ngopi sore hari tanpa ada rokok. Karena stok rokok si mbro habis, maka dia meminta tolong asisten rumah tangga saya untuk membeli rokok. Dia keluarkan uang 50 ribu rupiah. Dia meminta dibelikan rokok sebungkus dan korek api. Tidak memakan waktu lama asisten RT saya sudah kembali lagi. Ia menyerahkan rokok dan kembaliannya. Si mbro memberikan sisa kembalian sebesar 30 ribu rupiah kepada asisten RT saya. Begitu sumringah dia di beri tips sebesar itu. Mungkin dia akan memberikan doa-doa kemakmuran kepada teman saya dari dalam hati sebagai wujud syukur.
Iseng saya bertanya kepada teman saya yang sedang menikmati rokok : "Habis berapa mbro tadi....??". Mbro menjawab : "Ah ga seberapa cuma 130ribu, santai aja bro...."
"Oke ga enak soalnya gw. Oh iya tadi di mobil juga sudah keluar 20 ribu kan...?? tanyaku kembali.
"Iya bro. Emang kenap...." terhenti disitu si mbro. Melongok sesaat, lalu...
"Walaaahhh aku di jebak Agen Tuhan, jadi hari ini kita sama-sama keluar 150 ribu ya brroo...."
Aku hanya tertawa mendengar pernyataannya. Memang Tuhan selalu ada cara untuk mengirimkan Agen-agennya tanpa kita sadari.
Sesekali saya ingin mendahului langkah, sebelum Agen-Agen Tuhan bertindak. Marah tidak ya Tuhan.
Selamat menikmati Subuh Meresap. Jangan pernah resah dan marah ketika bertemu Agen-Agen Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H