Mohon tunggu...
Irfan Fauzi
Irfan Fauzi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Warga Bekasi yang cinta nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sakitnya Tuh Disini (Sambil Nunjuk Dompet)

19 Desember 2014   01:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut saya susah juga menjawab persoalan ini. Karena bagaimana cara agar lelah mereka di siang hari dapat terbayar dengan kemenangan bukan kekalahan. Ruang sempit dan kesempatan sedikit, diperebutkan oleh jutaan orang yang punya nasib sama. Dominasi penduduk Indonesia di isi orang orang ini. Bujukan para tokoh agama melalui tempat ibadah, majelis-majelis atau lainnya berhasil membawa sebagian mereka ke jalan yang benar. Sebagian lagi ada yang dengan kesadaran sendiri menuju kesana. Jadi "kelompok jalanyang benar" terfasilitasi. Begitu juga "kelompok umumnya" juga terfasilitasi. Mereka cukup melepas lelah melalui kumpul kumpul dengan teman, ngopi bareng, main catur atau bertemu dengan keluarga. Lalu bagaimana dengan kelompok lainnya. Apakah kita juga harus memfasilitasi. Fluktuasinya kesadaran diri membuat tidak semua orang mempunyai daya tahan yang sama. Selalu ada bagi pemilih jalan maksiat. Saya rasa mungkin tidak ya bila semua menjadi "putih"secara serentak. Seperti apa wajah dunia??? Dinamiskah atau statiskah?? Bagaimana superhero bila tidak bertemu musuhnya???

Semua pusat kesenangan kaum terpinggirkan, yang katanya salah jalan di musnahkan. Penjualan miras, tempat prostitusi dan lainnya di tutup. Dulu terkontrol sekarang liar dan sembunyi-sembunyi. Petinggi negara dan agama selalu menyanyikan lagu yang sama. Akhirnya mereka mencari cara sendiri. Apa saja dibuat dan dilakukan untuk mencapai ektase, guna melupakan penat dunia.

Apakah dibenarkan jika dibuatkan atau dibangun kembali saluran yang sudah ditutup tersebut ????. Pelacuran dan minuman alkohol non oplosan di legalkan kembali, dengan tempat yang terlokalisir. Sehingga masyarakat yang belum sadar dapat lebih terjamin kesehatan dan keselamatannya. Atau ada cara lainkah??

Saya yakin dari zaman dahulu, urusan seperti ini jadi persoalan yang paling ribet. Isi kandungan Kitab Suci selalu membicarakan persoalan kehidupan dan cara menghadapinya. Baik kehidupan dikala matahari bersinar sampai rembulan bersinar. Kondisi terkini mengalami perkembangan yang signifikan. Ancamannya jadi berkembang. Mulai dari persoalan penyakit menular sampai rusaknya moral. Nah jika tidak dilokalisir dapat menyebabkan penyebaran penyakit menular dan tidak terkontrolnya miras oplosan. Tapi jika dilokalisir bertentangan dengan norma agama dan seolah olah melegalkan maksiat. Herannya lokasi kelas non marjinal ramai berkembang dan legal dijual. Jadi beruntung masyarakat kelas menengah atas, mempunyai saluran pelepas penat di dua pilihan. Pilihan "jalan yang benar" dan "pilihan jalan yang tidak benar". Ngomong-ngomong koq untuk urusan kelas menengah atas pada diam. Tidak ada usaha menutup tempat tersebut.

Saya pernah berkunjung kerumah teman di bekasi utara. Dia mempunyai sebidang tanah yang dijadikan tempat nongkrong atau berkumpul untuk sekedar ngobrol. Bedeng Jawir namanya. Disana antara kaum putih dan hitam berkumpul. Tanpa ada sekat benar dan salah. Suku atau agama. Setiap menjelang malam mulai ramai satu persatu berdatangan. Rupa kostum dan tingkah di perlihatkan. Mulai dari yang bergamis dan kopiah (habis fardhu maghrib dan isya), memakai kalung salib, tindikan, tato sampai preman. Kualitas orang orangnya pun rupa rupa. Mulai dari kelas kurcaci sampai kelas berat. Semua kumpul.

Topik yang dibicarakan juga beragam. Mulai politik, curhatan, ekonomi, infotaiment, hobi dan lainnya. Kopi dan camilan disediakan urunan. Semua guyub. Siap berjamaah menciptakan lokasi ekstase, untuk melepas lelah setelah terbakar matahari. Oase jiwa non formal. Pelarian dari rutinitas hidup. Tokoh agama yang hadir, tidak menceramahi begajulan. Dan begajulan tidak mempengaruhi tokoh agama. Begitu juga yang berbeda agama. Atau keduanya tidak mempengaruhi khalayak umum yang ada disitu. Semua hanya menunjukan tauladan. Penghargaan diberikan karena adab. Disinilah inti, tarik menarik pengaruh. Tidak dengan omongan, nasehat, bujukan tapi cukup memperlihatkan tauladan dari tindak tanduk laku kita sehari hari. Semua sama-sama belajar. Belajar mengenal diri sendiri sambil melepas lelah dari kehidupan. Buat mereka kebanyakan : Sakitnya Tuh Disini (sambil nunjuk dompet), Baru disini (Sambil nunjuk tempat hati antara dada dan puser). Persoalan Nyata soal isi dompet. Harus diselesaikan dengan cara Nyata yaitu kesempatan menambah isi dompet. Atau cara Nyata lainnya yaitu berkumpul ngobrol.

Andai program ini dikenali oleh pemerintah. Atau tokoh masyarakat dan agama. Seperti oase di sudut bekasi utara itu. Mungkin Toko miras dan prostitusi jadi sepi sendiri. Saat ini Oase jiwa yang tumbuh alami ditengah masyarakat sudah mulai "punah". Dulu bisa berbentuk bale bale warung kopi. Atau lapangan ramai penjual kuliner keliling. Sekarang banyak berganti menjadi supermarket atau Mall. Tempat menabur nafsu materil dan tempat menabur imajinasi. Tidak ada Oase bagi jiawa. Beda dengan tempat seperti Bedeng Jawir. Malu jadi pijakan mereka. Sangsi sosial jadi batasan. Koreksi diri jadi penjaga mereka.

Damai di bumi damai di langit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun