Mohon tunggu...
Irfan Fadila
Irfan Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mencoba menjadi pewaris peradaban

Mahasiswa Ilmu Politik yang gaterlalu politik. Menyukai sepak bola, musik rock, dan pantai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Prosedural Tak Hanya Berbicara Soal Pemungutan Suara

1 Juni 2023   20:27 Diperbarui: 1 Juni 2023   20:35 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menapaki penghujung bulan Mei masyarakat Indonesia tengah dikejutkan dengan menyeruaknya isu sistem pemilu yang akan kembali menerapkan sistem proposional tertutup sebagaimana yang terjadi pada masa orde lama & orde baru. Tentunya kabar mengenai perubahan sistem ini memantik perdebatan di berbagai kalangan masyarakat. Beragam respon dari masyarakat terhadap isu tersebut baik itu yang mendukung dan menolak penerapan kembali sistem proporsional tertutup. Bagi sebagian masyarakat yang menolak hal ini tak lepas dari trauma masa lalu karena Indonesia memiliki sejarah yang cukup kelam ketika menganut sistem proporsional tertutup. Bila kita tarik ke belakang sistem proporsional tertutup melahirkan kekuasaan yang besar untuk penguasa partai dalam memonopoli kekuasaan politik karena ada celah bagi ketua partai untuk memegang kendali sepenuhnya pada proses penunjukan siapa yang berhak duduk di kursi pemerintahan. Tidak bisa dinafikan bahwa penerapan sistem proporsional tertutup acapkali mendorong terjadinya tindakan nepotisme, patronase, dan klientelistik oleh partai sehingga menimbulkan regresi legitimasi publik terhadap pemangku kekuasaan karena dengan begitu demokrasi hanya dianggap sebagai suatu instrument dalam memuluskan kepentingan segelintir elit partai.Walaupun sebenarnya praktek praktek di atas juga masih bisa terjadi pada sistem proporsional terbuka tetapi sistem closed list memaksa rakyat untuk tidak punya pilihan selain bergantung pada keputusan partai.  Mengutip pernyataan dari penulis Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2001 Muhammad Nizar Kherid berpendapat penerapan dari closed list sistem ini mendorong terjadinya oligarki elit partai yang kuat sehingga memiliki kecenderungan mengurangi nilai-nilai demokrasi yang subtansial.

 Dibalik panasnya pro kontra dari masyarakat mengenai isu ini ada satu sisi yang menurut saya menarik untuk dibahas. Dari banyaknya perdebatan masyarakat dalam merespon isu tersebut meyakinkan saya bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap wacana demokrasi prosedural. Setidaknya masyarakat Indonesia memiliki kesadaran politik untuk menjaga demokrasi prosedural tetap ideal.Namun, satu hal yang sering luput dari perhatian publik adalah fakta bahwa proses demokrasi prosedural tidak hanya berbicara mengenai pemungutan suara saja. Di balik itu semua, sebenarnya banyak sekali tahapan yang dilalui dalam implementasi demokrasi prosedural tetapi hanya sedikit saja masyarakat yang paham atau setidaknya tahu terhadap berbagai tahapan kepemiluan. Seperti apa yang dikatakan oleh Schumpeter demokrasi prosedural dimaknai dengan sebuah prosedur atau tahapan proses dari jalannya demokrasi melalui sebuah kompetisi/kontestasi. Maka dari itu memahami seluruh tahapan kepemiluan menjadi suatu hal yang penting agar proses dari kontestasi tersebut dapat berjalan secara ideal.Banyak masyarakat yang tidak tahu tahapan-tahapan kepemiluan seperti verifikasi dukungan bacaleg DPD, pencocokan dan penelitian data pemilih (Coklit), penyusunan daftar pemilih sementara (DPS), perbaikan daftar pemilih sementara (DPSHP), penetapan daftar pemilih tetap (DPT), hingga hal hal fundamental seperti kriteria seseorang dapat memiliki hak pilih berdasarkan beberapa kualifikasi baik itu usia, domisili, dan jenis-jenis surat suara yang berhak dicoblos.

Hemat saya pertanyaan mengapa banyak masyarakat yang tidak terlalu paham mengenai hal hal teknis tersebut bukanlah sesuatu yang sulit dijawab. Berkaca pada diri sendiri sebagai mahasiswa politik aktif tahun kedua jujur saja saya baru tahu tahapan-tahapan tersebut ketika bekerja langsung menjadi penyelenggara pemilu tingkat kelurahan. Bahkan di program studi politik tempat saya menimba ilmu saja jarang sekali membahas hal fundamental yang sifatnya teknis seperti itu, lebih terfokus pada teori dan membicarakan model ideal demokrasi prosedural sebagai gerbang awal pemerintahan yang bersih. Tentunya hal ini menjadi tanda tanya besar dimankah peran sosialisasi agen-agen demokrasi seperti KPU dan lembaga kepemiluan lainnya dalam memberi edukasi tahapan-tahapan kepemiluan. Seharusnya lembaga-lembaga tersebut gencar untuk memberikan pemahaman tahapan kepemiluan kepada masyarakat melalui sosialisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat dengan begitu masyarakat memiliki wawasan dasar demokrasi prosedural yang baik.

Lantas sebenarnya apa yang dikhawatirkan dari kurangnya sosialisasi tahapan kepemiluan tersebut? Salah satunya adalah munculnya misinformasi yang kerap menimbulkan kegaduhan saat hari pencoblosan. Kasus yang sering terjadi pada hari pencoblosan adalah masalah tidak terpenuhinya hak pilih masyarakat untuk mencoblos karena belum terdaftar sebagai DPT di domisilinya. Biasanya hal ini dilatarbelakangi misinformasi masyarakat bahwa untuk terdaftar sebagai daftar pemilih di domisili tersebut cukup dengan dibuktikan dengan mereka tinggal di domisili yang mereka tinggali. Padahal hak pilih seseorang sesuai PKPU didasarkan pada induk administrasi yang tercantum dalam bukti dokumen Kartu Keluarga. Sekalipun bisa dibuktikan secara de facto calon pemilih tidak serta merta memiliki hak pilih di domisili yang ditinggali tanpa bukti dokumen Kartu Keluarga yang menyatakan berdomisili di tempat tersebut.

Adapun untuk memilih di luar domisili yang tercantum dalam Kartu Keluarga, berdasarkan PKPU no 27 tahun 2023 si calon pemilih harus meminta surat keterangan A5 dengan memberikan alasan yang kuat seperti menjalankan tugas di tempat lain, tertimpa bencana alam, bekerja di luar domisilinya dll. Di samping kriteria hak pilih berdasarkan domisili, masalah terkait jenis surat suara yang berhak dicoblos oleh pemegang formulir A5 juga kerap memicu kegaduhan di hari pencoblosan.  Ada misintresepsi dari para pemegang A5 yang merasa hak pilihnya dirampas karena dalam beberapa kasus pemilih pemegang A5 tidak menerima 5 jenis surat suara yang tersedia di TPS. Adapun 5 jenis tersebut adalah surat suara anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Mengingat PKPU no 27 2023 tentang kriteria daftar pemilih tambahan dijelakan bahwa calon pemilih tetap mengikuti pada domisili yang tercantum pada induk administrasi si pemilih dan dapilnya sehingga tidak semua memiliki hak untuk mengikuti pemilihan DPD, DPRD Provinsi & Kota. Hal ini dapat menimbulkan masalah bila dari kedua pihak sama sama tidak memiliki pemahaman penuh dalam teknis kriteria pemilih. Si calon pemilih bisa merasa haknya tidak terpenuhi karena tidak mendapatkan surat suara DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten tempat si pemilih mencoblos ketika nama si pemilih terdaftar di dapil berbeda di dpt asalnya.  

Dampak dari kurangnya pemahaman tahapan kepemiluan tidak hanya berefek pada dinamika saat hari pencoblosan. Jauh sebelum itu banyak sekali yang memanfaatkan celah untuk framing politik dari kurangnya pemahaman masyarakat mengenai proses demokrasi prosedural. Seperti halnya video hoax yang beredar mengenai isu kecurangan salah satu calon kandidat presiden yang memanipulasi C1 yang padahal C1 baru ada ketika hari pemungutan. Sedangkan untuk saat ini pemilu baru memasuki tahap penyusunan DPT tentu saja video ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Bahkan bila kita runut secara mendetail timeline tahapan pemilu yang ada di dalam keputusan KPU belum memasuki tahapan pendaftaran kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden. Vidio tersebut tentu saja bisa memicu perpecahan bila masyarakat menelan mentah mentah narasi yang dikemas oleh si pembuat framing. Debat kusir saling menghujat antar simpatisan yang diakibatkan narasi black campaign tentu mencederai nilai-nilai demokrasi yang sehat.

  Oleh karena itu peran sosialisasi dari lembaga-lembaga kepemiluan mengenai tahapan-tahapan pemilu perlu digencarkan lagi sebagai langkah preventif agar masyarakat memiliki wawasan demokrasi prosedural yang kuat sehingga dapat meminimalisir kegaduhan dan perpecahan yang terjadi baik itu ketika pencoblosan dan kampanye. Di samping itu kesadaran masyarakat untuk melek terhadap tahapan kepemiluan menjadi faktor yang sama pentingnya untuk mewujudkan demokrasi prosedural yang ideal karena sejatinya sinergitas antara masyarakat dan penyelenggara adalah kunci terwujudnya demokrasi yang sehat. Keduanya harus saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang sama yaitu demokrasi Indonesia yang lebih baik.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun