Politik”? Apakah orang-orang berdasi pembuat kebijakan yang duduk di gedung pemerintahan?
Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata “Aktor-aktor partai yang melakukan kampanye dalam pemilu? Ataukah sekelompok orang yang berusaha mendapatkan kuasa untuk memerintah? Yaa bisa dibilang hal-hal tersebut pada umumnya akan muncul secara spontan dalam benak pikiran kita ketika mendengar kata politik.
Pikiran kita mengenai politik sudah terkonstruksi secara tidak sadar untuk selalu mengaitkannya dengan kegiatan yang sifatnya parlementer.
Tidak ada yang salah dari itu semua karena memang dalam praktiknya politik selalu berkaitan dengan pemerintahan salah satunya parlementer sebab pada studi ilmu politik sendiri secara ontologis membahas suprastruktur politik yang di dalamnya ada kajian tentang parlementer.
Namun, yang akan dibahas disini bukan model politik seperti itu karena bisa saya jamin kita akan bosan dan jenuh dalam membahas politik parlementer sebagaimana yang saya alami selama 3 sks dalam matkul Dasar Dasar Ilmu Politik.
Untuk itu tidak ada salahnya kita melihat politik dari prespekstif yang lebih “menyenangkan” yaitu melalui seni. Sama halnya seperti anda yang mungkin bertanya “Lho emangnya bisa ya berpolitik pake seni? bukannya politik identik dengan adu argumen sampai debat kusir” saya pun sempat memiliki pertanyaan serupa ketika mengerjakan UAS mata kuliah ilmu sosial.
Sampai pada saat itu ketika saya sedang iseng mengisi kegabutan dengan menonton Youtube muncul sebuah rekomendasi video band rock asal California bernama Rage Against The Machine.
Band rock berprinsipkan seni musik sebagai muatan politik melalui kata kata yang melawan di dalam liriknya. Benar benar rockstar! karena band ini bukan hanya sukses membawakan pesan politik melalui cara yang fresh dan sesuai dengan jiwa anak muda tetapi ia juga sukses menjadi salah satu band rock berpengaruh di genrenya.
Lagu lagunya yang terkenal selalu erat dengan kritik dan keresahan Zack de la rocha cs tentang isu isu sosial. Berbagai kritik serta umpatan itu dikemas rapih oleh Zack menjadi sebuah lirik yang tajam sarat akan makna dan emosional bagi para pendengarnya.
Tak berhenti sampai disitu, pidato Zach melalui kata-kata yang melawan tersebut dibuat lebih garang lagi oleh alunan gitar Tom Morello, cabikan bass Tim Commerford, dan dentuman kemarahan Brad Wilk lewat drumnya sukses melahirkan komposisi menawan untuk menjadikannya sebagai pesan politik.
Ngomong-ngomong soal Rage Against The Machine kurang afdol rasanya bila kita tidak membahas salah satu masterpiece yang membawa nama band tersebut menjadi besar dan melegenda, ya! Killing in The Name.