Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Lawyer Tri Vittama Firm

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Efisiensi atau Pengorbanan? Dampak Inpres No.1/2025 pada Pelayanan Publik

5 Februari 2025   06:06 Diperbarui: 5 Februari 2025   06:06 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Mengesahkan Inpres Nomor 1 tahun 2025 (sumber gambar: pikiranrakyatgarut.com)

Presiden Prabowo Subianto resmi menerbitkan Inpres No.1/2025 pada 22 Januari 2025 sebagai respons atas defisit APBN 2025 yang diproyeksikan mencapai 2,53% PDB. Kebijakan ini menargetkan penghematan Rp306,69 triliun, dengan rincian Rp256,1 triliun dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah, termasuk pemotongan Rp2 triliun dana desa. Tujuan utamanya adalah mengalihkan anggaran dari belanja non-produktif ke program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan infrastruktur. Namun, langkah ini menuai kritik karena berpotensi mengorbankan kualitas pelayanan publik, terutama di daerah terpencil yang bergantung pada APBN.

Analisis Kebijakan: Efisiensi atau Pemotongan Buta?

  • Pemangkasan Belanja Seremonial: Antara Penghematan dan Ancaman Sosialisasi Kebijakan

Inpres No.1/2025 memangkas 56,9% anggaran untuk kegiatan seremonial seperti seminar, studi banding, dan upacara. Contoh konkret: Pemprov DKI Jakarta menghemat Rp150 miliar dari pembatalan 12 kegiatan seremonial, termasuk peringatan HUT Jakarta ke-498. Dana ini dialihkan ke pembangunan 5.000 unit rusunawa. Meski penghematan ini positif, risiko muncul ketika kegiatan seperti sosialisasi stunting di daerah terpencil ikut dipotong. Tanpa seminar atau pelatihan, program prioritas pemerintah berisiko tidak tersosialisasi dengan baik, terutama di wilayah dengan akses informasi terbatas.

  • Pengurangan 50% Perjalanan Dinas: Efisiensi vs. Keterlambatan Proyek

Kebijakan ini mewajibkan penggunaan video conference untuk rapat antardaerah dan memotong 50% anggaran perjalanan dinas 4. Kementerian PUPR, misalnya, menghemat Rp280 miliar dari pengurangan 1.200 perjalanan dinas. Namun, di daerah seperti Papua yang infrastruktur internetnya lemah, rapat tertunda karena koneksi tidak stabil. Akibatnya, proyek jalan trans-Papua terhambat, padahal pembangunannya vital untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.

  • Pemotongan 90% Belanja ATK: Efek Domino pada Pelayanan Dasar

Pemotongan 90% anggaran alat tulis kantor (ATK) di K/L dan daerah berpotensi mengganggu operasional layanan publik. Di Kabupaten Sumba Barat, NTT, Puskesmas mengalami kelangkaan formulir rekam medis karena keterlambatan distribusi ATK 4. Meski penghematan ini mengalirkan dana ke program MBG, ketidaksiapan logistik di lapangan justru mengancam kualitas layanan kesehatan.

  • Penyesuaian Transfer ke Daerah: Ancaman Ketimpangan Regional

Pemotongan Rp18,3 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Rp2 triliun dana desa berisiko memperlebar jurang pembangunan. Di Aceh Barat, proyek jalan desa sepanjang 12 km terpaksa ditunda akibat pemotongan Rp45 miliar DAK Fisik. Sementara itu, daerah seperti Jawa Barat mampu mengalihkan dana efisiensi ke infrastruktur, daerah miskin sumber daya seperti Papua dan Aceh justru kehilangan momentum pembangunan.

Efisiensi: Peluang dan Tantangan dari Perspektif Ekonomi

  1. Teori Efisiensi Alokatif: Potensi Multiplier Effect untuk Pertumbuhan

Realisasi penghematan Rp306,69 triliun diarahkan ke program prioritas seperti MBG senilai Rp171 triliun. Menurut teori ekonomi Mekanisme Multiplier Effect,  ketika pemerintah mengalokasikan dana (misalnya Rp1 triliun) ke program seperti MBG, uang ini akan menjadi pendapatan bagi penerima (petani, penyedia logistik, katering), yang kemudian dibelanjakan kembali ke sektor lain (misalnya konsumsi rumah tangga, investasi UMKM). Siklus ini menciptakan efek berantai yang memperbesar dampak ekonomi awal. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap Rp1 triliun yang dialokasikan ke MBG diproyeksikan meningkatkan perputaran ekonomi lokal sebesar 1,2% melalui rantai pasok pangan dan penyerapan tenaga kerja. Contoh: Program MBG di Jawa Tengah menyerap 15.000 petani lokal untuk menyuplai beras dan sayuran, menciptakan efek berganda di sektor pertanian.

2. Risiko Fiskal: Defisit yang Membengkak dan Ketergantungan pada Utang

Meski efisiensi anggaran dijaga, pemerintah tetap menghadapi risiko defisit APBN membengkak dari 2,53% menjadi 2,9% PDB akibat tambahan belanja MBG. Pakar ekonomi Bhima Yudhistira (Celios) memperingatkan bahwa tanpa reformasi birokrasi, penghematan hanya bersifat sementara. Contoh: Kasus mark-up harga ATK di Kementerian Kelautan tetap terjadi meski anggaran dipotong 90%.

3. Ketimpangan Implementasi: Daerah Kaya vs. Daerah Miskin

Kebijakan ini cenderung menguntungkan daerah dengan kapasitas fiskal kuat. Pemprov Jawa Barat sukses mengalihkan Rp2 triliun dari pemotongan seremonial ke pembangunan jalan tol dan Puskesmas. Sebaliknya, daerah seperti Gunungkidul harus mempertahankan anggaran lokal untuk MBG meski tekanan efisiensi dari pusat tinggi. Ini menunjukkan bahwa tanpa pendampingan teknis dan peningkatan kapasitas SDM, kebijakan efisiensi justru memperparah ketimpangan.

Rekomendasi: Menyelaraskan Efisiensi dengan Keadilan Sosial 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun