HGB) yang diberikan kepada perusahaan swasta di wilayah pesisir dan laut lepas. Isu ini mencuat ke permukaan setelah ditemukan bahwa wilayah laut di Kabupaten Tangerang telah memiliki sertifikat HGB atas nama perusahaan swasta. Publik pun bertanya-tanya: bagaimana bisa laut yang seharusnya menjadi milik bersama tiba-tiba berubah status menjadi area privat?
Bayangkan laut yang terbentang luas dan menjadi sumber kehidupan banyak orang tiba-tiba "dipagari" dan hanya bisa diakses oleh pihak tertentu. Inilah realitas yang sedang memancing perdebatan publik: Hak Guna Bangunan (Pemberian HGB di laut tidak hanya mengundang kritik dari masyarakat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar dari sisi hukum dan etika. Apakah proses pemberian HGB tersebut sah sesuai aturan? Apakah wilayah pesisir dan laut lepas memang bisa "dimiliki" oleh pihak swasta? Di sisi lain, dampaknya terhadap masyarakat pesisir, seperti nelayan yang mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan, serta terhadap ekosistem laut yang sensitif, juga menjadi sorotan. Fenomena ini memaksa kita untuk meninjau ulang regulasi yang mengatur kepemilikan dan pengelolaan laut di Indonesia.
Dengan berbagai polemik yang terjadi, artikel ini akan mengupas tuntas apa yang salah dengan pemberian HGB di wilayah pesisir, mengapa ini menjadi kontroversi, dan bagaimana langkah hukum serta kebijakan dapat digunakan untuk melindungi hak publik atas laut.
1. Apa Itu HGB dan Bagaimana Pemberlakuannya?
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bunyi pasalnya adalah:
"Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun."
Hak ini dapat diperpanjang selama 20 tahun lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. HGB hanya dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah milik perseorangan yang disewakan kepada pemegang HGB. Diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, HGB mensyaratkan pengajuan permohonan oleh individu atau badan hukum yang berwenang.
Namun, pemberlakuan HGB atas wilayah laut menjadi isu yang kompleks, karena laut tidak termasuk kategori tanah yang dapat diberikan hak atasnya berdasarkan Pasal 16 UUPA, yang menyebutkan jenis-jenis hak atas tanah meliputi:
- Hak Milik,
- Hak Guna Usaha,
- Hak Guna Bangunan,
- Hak Pakai, dan lain-lain.
Laut, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, adalah milik publik yang dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Tidak ada klausul dalam aturan tersebut yang memperbolehkan laut dijadikan tanah yang dapat diberikan HGB, kecuali wilayah tersebut sudah menjadi tanah hasil reklamasi.
Dalam konteks reklamasi, tanah yang dihasilkan dari proses tersebut dapat didaftarkan sebagai tanah negara berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, proses ini harus melewati kajian lingkungan hidup yang komprehensif dan melibatkan partisipasi masyarakat. Inilah yang menjadi titik kritis, karena pemberian HGB di wilayah laut sering kali dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak.
2. Kontroversi HGB di Wilayah Laut: Fakta dan Dampaknya
Kasus pemberian HGB di wilayah laut kembali mencuat setelah ditemukan bahwa PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (CIS), anak usaha Agung Sedayu Group, memiliki sertifikat HGB di wilayah pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Fakta ini diakui oleh kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, dalam pernyataan publik pada Januari 2025. Ia menyebutkan bahwa HGB tersebut diterbitkan secara sah atas tanah hasil reklamasi di wilayah tersebut. Namun, pernyataan ini justru memicu pertanyaan dari publik mengenai transparansi dan dampaknya terhadap masyarakat serta lingkungan.