BPJS Kesehatan adalah fondasi utama sistem jaminan kesehatan di Indonesia. Dengan lebih dari 240 juta peserta, program ini telah memberikan akses kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat luas. Namun, sejak awal berdirinya, BPJS Kesehatan menghadapi ancaman serius berupa defisit keuangan. Pada tahun 2024 saja, defisit diperkirakan mencapai Rp 20 triliun, dan jika tidak segera ditangani, BPJS berpotensi mengalami krisis keuangan yang lebih parah di tahun-tahun mendatang.
Pemerintah berencana menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada pertengahan tahun 2025. Namun, pertanyaannya tetap: apakah kenaikan iuran ini cukup untuk menyelamatkan BPJS dari ancaman defisit yang berkelanjutan?Â
Latar Belakang Defisit BPJS Kesehatan
Sejak awal beroperasi, BPJS Kesehatan telah menghadapi tantangan ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Beberapa faktor utama yang menjadi penyebab defisit adalah:
- Ketidaksesuaian Iuran dan Klaim: Peserta membayar iuran yang relatif kecil, sementara biaya layanan kesehatan terus meningkat. Sebagai contoh, penyakit seperti gagal ginjal membutuhkan hemodialisis rutin yang biayanya mencapai Rp 900 ribu per sesi. Jika dikalikan dengan rata-rata dua kali sesi per minggu, satu pasien membutuhkan biaya Rp 7 juta per bulan. Sementara itu, iuran peserta kelas III hanya Rp 42 ribu per bulan.
- Dominasi Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI): Peserta PBI yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah mendominasi jumlah peserta. Namun, kontribusi iuran kelompok ini sering kali lebih kecil daripada biaya layanan yang digunakan.
- Efek Pandemi COVID-19: Pandemi tidak hanya meningkatkan klaim layanan kesehatan tetapi juga menurunkan tingkat kepatuhan peserta mandiri dalam membayar iuran karena tekanan ekonomi.
Rencana Kenaikan Iuran dan Tantangannya
Pemerintah berencana menaikkan iuran JKN pada tahun 2025, sesuai Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024. Langkah ini bertujuan untuk menambah pendapatan BPJS dan mengurangi risiko defisit.
Rincian Rencana:
Kenaikan iuran diproyeksikan sebagai berikut:
- Kelas I: Dari Rp 150 ribu menjadi Rp 200 ribu.
- Kelas II: Dari Rp 100 ribu menjadi Rp 125 ribu.
- Kelas III: Dari Rp 42 ribu menjadi Rp 50 ribu.
Namun, apakah langkah ini cukup untuk menutupi defisit yang diperkirakan terus meningkat?
Dampak Defisit bagi Masyarakat
Jika defisit BPJS terus berlanjut tanpa solusi yang tepat, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh institusi BPJS tetapi juga oleh masyarakat luas. Berikut adalah dampak spesifik yang mungkin terjadi:
- Penurunan Kualitas Layanan Kesehatan
Defisit keuangan BPJS dapat berdampak langsung pada kemampuan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya untuk menyediakan layanan berkualitas. Rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS mungkin kesulitan menyediakan obat-obatan, alat medis, atau bahkan tenaga kesehatan karena klaim yang terlambat dibayarkan oleh BPJS. Akibatnya, pasien harus menghadapi antrean lebih panjang atau layanan kesehatan yang tidak optimal.
- Risiko Gagal Bayar
Jika BPJS gagal membayar klaim rumah sakit, dampaknya akan dirasakan langsung oleh peserta. Dalam situasi ini, peserta mungkin harus membayar sendiri biaya pengobatan di luar kemampuan mereka. Hal ini berisiko menciptakan kemiskinan baru, terutama bagi keluarga dengan anggota yang menderita penyakit kronis atau membutuhkan perawatan jangka panjang.
- Penurunan Kepercayaan Publik
Krisis keuangan juga dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap program JKN. Jika masyarakat kehilangan keyakinan terhadap kemampuan BPJS dalam memberikan layanan yang andal, mereka mungkin memilih keluar dari sistem atau beralih ke asuransi swasta. Ini justru akan mempersempit cakupan peserta dan menambah beban BPJS.
- Beban Finansial pada Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang tidak dibayar tepat waktu oleh BPJS harus menanggung beban finansial yang besar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan rumah sakit dan berdampak pada kesejahteraan tenaga medis.