Sritex, telah menjadi salah satu raksasa di industri tekstil Indonesia selama beberapa dekade. Namun, pada Oktober 2024, perusahaan ini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah gagal memenuhi kewajiban utangnya. Kepailitan ini membuka mata banyak pihak tentang betapa rapuhnya sebuah bisnis, tidak peduli seberapa besar atau kuat reputasinya. Artikel ini akan mengupas krisis keuangan yang dialami Sritex dan bagaimana situasi ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi industri tekstil di Indonesia.
PT Sri Rejeki Isman Tbk., lebih dikenal denganSejarah dan Perjalanan Bisnis PT Sritex
Sritex didirikan oleh HM Lukminto pada tahun 1966 sebagai sebuah usaha kecil di Sukoharjo, Jawa Tengah. Berawal dari bisnis lokal, Sritex tumbuh menjadi pemain global dengan klien dari berbagai negara, termasuk NATO dan tentara Jerman, untuk produk seragam militernya. Puncak kejayaan Sritex terlihat ketika perusahaan ini terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2013 dan mendapatkan pengakuan internasional. Pabrik-pabrik Sritex menghasilkan berbagai produk tekstil, dari seragam militer hingga pakaian siap pakai untuk ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa.
Namun, meskipun Sritex mencapai sukses besar di pasar global, tanda-tanda masalah keuangan mulai terlihat ketika mereka mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada awal tahun 2022. PKPU tersebut adalah sinyal pertama bahwa Sritex tengah menghadapi krisis keuangan serius yang akhirnya berujung pada kepailitan.
Krisis Keuangan yang Melanda Sritex
Kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) tidak terjadi secara tiba-tiba. Perusahaan ini telah menghadapi tantangan keuangan yang serius selama beberapa tahun terakhir, yang puncaknya terjadi pada Oktober 2024 ketika Pengadilan Niaga Semarang memutuskan perusahaan ini pailit. Salah satu pemicu utama dari krisis ini adalah ketidakmampuan Sritex untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya, yang berasal dari kesepakatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dibuat pada awal 2022.
Pada tahun 2022, Sritex mulai menghadapi tekanan besar setelah salah satu krediturnya, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan permohonan pembatalan kesepakatan PKPU. Kesepakatan ini sebelumnya dicapai untuk menunda pembayaran utang perusahaan sebagai upaya untuk menghindari kebangkrutan. Namun, Sritex gagal memenuhi komitmen tersebut, yang memicu PT Indo Bharat Rayon untuk menggugat di pengadilan, yang pada akhirnya berujung pada putusan pailit.
Faktor utama yang memperburuk kondisi keuangan Sritex adalah ketidakmampuan perusahaan untuk mengelola beban utang yang sangat besar. Pada tahun-tahun sebelumnya, Sritex sangat bergantung pada penerbitan obligasi dan pinjaman untuk membiayai ekspansi bisnisnya, termasuk obligasi global senilai US$150 juta yang diterbitkan pada 2017 dengan jatuh tempo pada 2024. Sritex berharap bahwa pendapatan dari ekspor produk tekstil mereka, terutama ke pasar Amerika Serikat dan Eropa, dapat menutupi beban utang tersebut. Namun, kondisi ekonomi global yang tidak stabil, terutama akibat pandemi COVID-19, menghambat kemampuan perusahaan untuk memenuhi target pendapatannya.
Selain masalah utang, pandemi COVID-19 juga memberikan pukulan telak bagi operasional Sritex. Gangguan rantai pasokan global, penurunan permintaan produk tekstil, dan pembatasan produksi di pabrik-pabrik mereka memperburuk situasi keuangan perusahaan. Sritex tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan drastis dalam permintaan pasar, yang menyebabkan penurunan pendapatan signifikan. Di saat yang bersamaan, beban utang perusahaan terus meningkat, tanpa ada strategi yang jelas untuk merestrukturisasi utang atau mencari solusi jangka panjang.
Upaya Sritex untuk bertahan melalui negosiasi dengan para kreditur dan penerapan PKPU tidak membuahkan hasil. Meskipun perusahaan telah mencoba merestrukturisasi utangnya dan mencapai kesepakatan PKPU pada 2022, ketidakmampuan untuk mematuhi kesepakatan tersebut membuat Sritex semakin terperosok dalam krisis. Kreditur utama seperti PT Indo Bharat Rayon kemudian mengajukan gugatan untuk membatalkan kesepakatan tersebut, yang akhirnya memicu proses kepailitan di Pengadilan Niaga Semarang.
Selain tekanan dari kreditur, Sritex juga mengalami penurunan nilai saham yang signifikan di Bursa Efek Indonesia. Ketidakpastian mengenai masa depan perusahaan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban utang membuat investor kehilangan kepercayaan. Analis pasar menyarankan agar perusahaan melakukan buyback saham untuk menyelamatkan nilai investasi, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan karena keterbatasan likuiditas.