Sekolah Dasar. Pada masa itu, saya gemar mencatat hal-hal sederhana yang ada di sekitar saya---mulai dari cerita tentang "Kelasku Hari Ini", tingkah laku teman-teman, hingga kegiatan sehari-hari yang saya anggap menarik.Â
Sejak kecil, menulis adalah cara saya untuk mengekspresikan apa yang saya lihat, pikirkan, dan rasakan. Ketertarikan saya pada dunia menulis sudah dimulai sejak saya duduk di bangkuMeski tampak sepele, menulis tentang lingkungan sekitar menjadi awal dari kecintaan saya terhadap dunia kata-kata. Saat itu, saya merasakan kebebasan dalam menuangkan segala peristiwa yang saya saksikan ke dalam tulisan.
Ketika saya menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), tulisan-tulisan saya mulai berubah. Di usia tersebut, saya mengalami masa-masa gejolak batin, di mana pertanyaan-pertanyaan tentang keimanan dan spiritualitas sering kali hadir dalam benak saya. Maka dari itu, tulisan saya mulai bergeser ke arah yang lebih serius, lebih dalam, dan sering kali penuh dengan perenungan tentang keimanan.
Saya menulis untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak selalu bisa saya ungkapkan secara langsung kepada orang lain. Di masa ini, menulis menjadi sarana untuk menyalurkan kegelisahan batin dan menemukan kedamaian dalam diri saya sendiri.
Menginjak bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), minat saya dalam menulis kembali berubah, mengikuti perkembangan emosi dan perasaan yang saya alami di masa remaja. Tulisan-tulisan saya mulai berfokus pada tema romansa, yang kala itu terasa sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari saya. Saya gemar menulis puisi-puisi melow, menceritakan tentang perasaan cinta, patah hati, dan berbagai gejolak emosi yang menjadi bagian dari kehidupan remaja. Saat itulah saya menyadari bahwa menulis bukan hanya tentang mengamati lingkungan sekitar, tetapi juga cara saya untuk memahami dan mengolah emosi yang saya rasakan.
Meski genre tulisan saya terus berkembang seiring dengan perjalanan hidup, satu hal yang tidak pernah berubah adalah rasa cinta saya terhadap aktivitas menulis. Menulis selalu menjadi tempat pelarian saya dari segala kebingungan dan ketidakpastian hidup. Namun, setelah lulus sebagai Sarjana Hukum, dunia kerja yang saya masuki tidak semudah yang saya bayangkan.Â
Lamaran demi lamaran yang saya kirimkan seolah hilang tanpa jejak. Kekecewaan dan rasa tidak percaya diri mulai menghantui saya. Di tengah ketidakpastian itulah, saya mulai merasa kehilangan arah, dan semangat menulis yang selama ini saya pegang erat pun mulai memudar.
Di saat-saat itulah, saya kembali teringat akan kecintaan saya pada menulis. Saya menyadari bahwa menulis adalah satu-satunya cara yang bisa menjaga api kreativitas dalam diri saya tetap menyala. Di tengah kebuntuan mencari pekerjaan, saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Saya memilih Kompasiana sebagai tempat untuk menulis dan mengekspresikan kembali apa yang ada di pikiran saya. Dengan memanfaatkan platform ini, saya berharap bisa menggugah kembali semangat yang sempat padam.
Kompasiana menjadi jendela baru bagi saya. Saya mulai menulis artikel-artikel sederhana, mencoba menuangkan kembali apa yang saya rasakan. Awalnya, saya ragu apakah tulisan saya akan diterima dengan baik oleh pembaca.Â
Namun, perlahan saya menyadari bahwa menulis di Kompasiana bukan hanya soal mendapatkan apresiasi, melainkan soal memberikan ruang kepada diri saya untuk berbicara. Menulis di Kompasiana membantu saya memahami diri saya lebih baik dan memberikan saya semangat baru untuk terus berkarya.
Dari artikel sederhana tentang kehidupan sehari-hari hingga topik yang lebih serius seperti hukum, saya merasakan kebebasan dalam menulis di Kompasiana. Tidak hanya itu, saya juga menemukan bahwa Kompasiana adalah komunitas yang hangat dan mendukung.Â