Setiap tahun, seiring detak jam yang menandakan berakhirnya bulan suci Ramadan, hatiku berdegup kencang menanti momen yang paling berarti: Lebaran, dan tentu saja ritual tahunanku sebagai 'Debt Collector' cilik. Tradisi yang kukembangkan sejak usiaku menginjak enam tahun. Dengan buku catatanku sebagai saksi bisu, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita hidupku.
Buku kecil itu lebih dari sekadar kumpulan kertas. Bagiku, itu adalah kompas yang mengarahkan ke petualangan tahunan, sebuah jurnal yang menyimpan catatan-catatan strategis. Dengan teliti, aku mencatat nama setiap tetangga dan sanak saudara, menilai mereka berdasarkan kedermawanan tahun-tahun sebelumnya, memilah mana yang berhak masuk daftar utama dan mana yang harus kukategorikan dalam 'blacklist' karena kedekutannya.
Perjalanan ini, yang kukerjakan hingga usiaku menginjak 14 tahun, bukan sekedar tentang mengumpulkan amplop. Lebih dari itu, ia adalah pelajaran tentang kehidupan, tentang nilai berbagi dan kebahagiaan sederhana yang bisa didapat dari sebuah senyuman atau ucapan selamat dari mereka yang kukunjungi. Amplop yang kukumpulkan tidak hanya berisi uang; mereka adalah kapsul waktu yang berisi harapan, doa, dan kasih sayang.
Adikku yang mengikuti jejakku dengan semangat yang mungkin lebih besar lagi, menambah dimensi baru dalam tradisi cerita ini. Dengan wajah polos dan keberaniannya yang tak terduga, dia berhasil menarik perhatian dan hati setiap orang di kampung kami. Meskipun tanpa buku catatan, tindakannya mengingatkan kita semua tentang kepolosan dan kegembiraan masa kecil yang murni, tentang bagaimana Lebaran menjadi sarana untuk kembali ke esensi yang paling dasar dari kehidupan: kebersamaan.
Saat aku beranjak dewasa, buku catatanku kini telah usang, namun cerita-ceritanya tetap terpahat dalam ingatan. Kisah-kisah petualangan Lebaran ini bukan hanya cerita anak-anak yang berlalu begitu saja; mereka adalah testament dari sebuah masa yang penuh dengan cinta, tawa, dan pembelajaran.
Buku kecil itu, dengan semua catatan dan daftarnya, telah menjadi sebuah artefak keluarga, sebuah reliqui dari masa lalu yang senantiasa mengingatkan kita tentang pentingnya nilai-nilai yang sering terlupakan: kedermawanan, keikhlasan, dan kebersamaan. Kisah 'Debt Collector' cilik ini bukan sekadar kenangan; ia adalah sebuah pelajaran hidup yang abadi, tentang bagaimana kita sebagai manusia terhubung satu sama lain melalui simpul-simpul kecil yang kita jalin setiap hari.
Kini saat Lebaran datang aku melihat generasi berikutnya dengan senyum hangat. Adikku, yang dulu bersama-sama menjelajahi kampung sebagai 'Debt Collector' cilik, kini telah dewasa dan mengambil peran baru dalam tradisi ini. Kami, bersama anggota keluarga yang lain, melanjutkan tradisi dengan semangat yang sama, namun dengan pemahaman yang lebih dalam tentang makna di baliknya.
Cerita kami sebagai 'Debt Collector' cilik adalah sebuah perjalanan yang melampaui waktu, sebuah saga yang terus berlanjut dari generasi ke generasi. Melalui setiap Lebaran, kami tidak hanya merayakan kemenangan spiritual, tapi juga merayakan ikatan yang mengikat kami sebagai keluarga, sebagai komunitas, dan sebagai bagian dari tapestri budaya yang kaya dan beragam. Ini adalah kisah kami, kisah tentang Lebaran, tentang tradisi, dan tentang nilai-nilai yang menjadikan kita manusia.
Kisahku sebagai 'Debt Collector' cilik, dengan segala lika-liku dan pelajaran yang menyertainya adalah bukti betapa momen-momen sederhana dalam kehidupan bisa menjadi kaya akan makna. Lebaran, dengan semua tradisi yang menyertainya menjadi momen tahunan yang selalu kukunjungi kembali dalam memori, mengingatkan tentang kehangatan, cinta, dan kebersamaan yang membentuk inti dari kemanusiaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H