Dalam pentas politik Tanah Air, drama tak pernah berhenti berputar layaknya roda pedati kuno---terus melaju meski jalannya terkadang tak lebih mulus dari permukaan bulan. Kali ini, panggung politik kita dihebohkan dengan pengumuman rekapitulasi suara oleh KPU yang bagaikan sebuah adegan klimaks dalam drama klasik, dimana pasangan Prabowo-Gibran berhasil menunjukkan dominasi yang luar biasa dengan meraih kemenangan di 36 provinsi dari total 38 provinsi yang ada. Sebuah prestasi yang membuat banyak pihak terperangah, dan tentu saja, membuat pesta bagi para pendukungnya.
Namun, di sisi lain, layaknya sebuah cerita yang baik ada kontras yang menciptakan dinamika. Pasangan Ganjar-Mahfudz, yang sejatinya diidam-idamkan oleh sebagian rakyat sebagai 'penyelamat' justru harus rela berada di posisi yang jauh dari kata mengesankan. Ironisnya, Partai PDIP sebagai 'kendaraan politik' Ganjar justru keluar sebagai partai politik dengan perolehan suara terbanyak yaitu 16,78 persen.Â
Disusul kemudian oleh Partai Golkar dengan 15,13 persen, dan tak ketinggalan, Gerindra yang mendapuk Prabowo sebagai salah satu nahkodanya justru hanya menempati posisi ketiga dengan 13,22 persen.
Bagi para pengamat politik dan masyarakat yang gemar menyelami dunia satir, situasi ini bagaikan hidangan lezat yang siap untuk dicicipi. Bagaimana tidak, di satu sisi ada kemenangan yang megah, di sisi lain ada kekecewaan yang mendalam. Seolah-olah, drama politik ini layaknya sebuah pertunjukan sandiwara yang disutradarai dengan apik di mana setiap tokoh memiliki perannya masing-masing, lengkap dengan ironi dan paradoks yang menyertainya.
Namun, apa yang menarik dari semua ini bukanlah sekadar hasil akhirnya, melainkan apa yang akan terjadi setelahnya. Pasca pengumuman rekapitulasi KPU ini, kita semua menanti dengan penuh antusiasme, bagaimana para aktor di panggung politik ini akan bergerak. Akan ada gugatan? Akan ada rekonsiliasi? Atau malah, akan ada twist cerita yang tak seorang pun prediksi?
Babak Tambahan Drama
Dilain sisi panggung, masih ada pula kelompok lain yang seakan tak ingin ketinggalan pesta. Mereka ini, bagaikan penari yang tengah menyiapkan gerak tarian yang bertajuk 'hak angket dalam langkahku', dengan lincahnya berputar dan meliuk-liuk, mencari celah untuk memainkan peran mereka dalam drama yang sedang berlangsung ini.Â
Sebagian penari angket ini menggap bahwa angketnya menjadi alat mahapowerful dalam tata politik, dan kini justru lebih Nampak menjadi tarian yang mungkin saja mengubah arah angin, atau paling tidak, menambahkan nuansa baru dalam cerita yang sedang kita saksikan.
Sebagian masyarakat mungkin melihat ini sebagai bagian dari dinamika demokrasi, sebuah proses 'check and balance' yang sehat dalam sistem politik. Namun, bagi para penggemar satire, ini hanyalah babak tambahan dalam sandiwara yang sama, dengan karakter dan plot twist yang serupa, namun selalu berhasil menarik perhatian. Para 'penari hak angket' ini, dengan langkah kaki mereka yang terukur dan tatapan mata yang penuh kalkulasi, menambah dimensi baru dalam drama politik yang tak pernah kehabisan bahan.
Mungkin bagi sebagian orang, upaya hak angket ini dilihat sebagai langkah desperat dari pihak yang tak rela kalah. Namun, bagi yang lain, ini adalah manifestasi dari hak demokrasi, sebuah proses untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan. Ironisnya, dalam konteks politik yang penuh dengan intrik dan manuver, upaya hak angket ini bisa jadi adalah gerak dansa yang paling elegan; sebuah perlawanan yang diselimuti oleh jubah prosedural dan aturan main yang ketat.
Bagaimanapun juga, tambahan babak hak angket ini hanya membuat drama politik kita semakin menarik untuk diikuti. Setiap gerakan, setiap keputusan, dan setiap kata yang diucapkan, semuanya adalah bagian dari narasi yang lebih besar. Dan bagi kita, para penonton yang terpaku di kursi penonton, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan melihat bagaimana akhir dari drama ini.Â