Mohon tunggu...
IRFAN DERI SAPUTRA
IRFAN DERI SAPUTRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka ngebahas politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Media Sosial, Bagaimana PR Mengelola Brand di Tengah Isu Negatif

8 Desember 2024   19:27 Diperbarui: 8 Desember 2024   19:38 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digital media sosial telah menjadi pedang bermata dua bagi perusahaan. Di satu sisi, platform ini memungkinkan brand untuk terhubung dengan audiens secara lebih personal. Namun di sisi lain, media sosial juga menjadi arena di mana isu negatif dapat menyebar dengan cepat dan merusak reputasi brand dalam hitungan jam.  

Sebagai seorang profesional Public Relations (PR), menangani krisis media sosial adalah salah satu tantangan terbesar. Berikut adalah langkah-langkah strategis yang dapat membantu PR mengelola isu negatif di media sosial dengan bijak dan efektif, dilengkapi dengan contoh nyata dari brand-brand besar.  

1. Deteksi Krisis Sejak Dini

Krisis sering kali dimulai dari keluhan kecil yang diabaikan. Oleh karena itu, penting bagi tim PR untuk memonitor percakapan di media sosial secara real-time.  
- Gunakan alat monitoring: Tools seperti Hootsuite, Brandwatch, atau Google Alerts dapat membantu melacak penyebutan brand di media sosial.  
- Analisis sentimen: Perhatikan nada percakapan—apakah ada pola meningkatnya komentar negatif? Jika iya, segera lakukan tindakan.  

Contoh Nyata:
Kasus keluhan pelanggan terhadap maskapai United Airlines pada tahun 2017 menunjukkan pentingnya deteksi awal. Saat video seorang penumpang dipaksa turun dari pesawat menjadi viral, United Airlines terlambat memberikan respon. Krisis ini menciptakan badai kritik global yang menurunkan nilai saham perusahaan sebesar $1 miliar hanya dalam beberapa hari.  

2. Respon Cepat dan Tepat

Waktu adalah kunci dalam menangani krisis media sosial. Semakin cepat respon diberikan, semakin kecil risiko krisis berkembang menjadi lebih besar.  
- Bersikap proaktif: Jangan menunggu masalah membesar sebelum memberikan klarifikasi.  
- Gunakan nada yang tepat: Tanggapi dengan empati dan profesionalisme, bukan defensif. Contoh: “Kami memahami kekhawatiran Anda, dan kami sedang bekerja untuk menyelesaikan masalah ini secepat mungkin.”  

Contoh Nyata:
Ketika Grab Indonesia menghadapi keluhan besar dari pelanggan mengenai kebijakan baru terkait tarif pada 2019, mereka merespon cepat melalui media sosial resmi. Grab tidak hanya meminta maaf tetapi juga langsung menjelaskan alasan kebijakan tersebut dengan transparan, sekaligus memberikan solusi alternatif bagi pengguna.  

3. Transparansi Adalah Segalanya

Publik menghargai transparansi, terutama dalam situasi krisis. Jangan mencoba menyembunyikan fakta, karena hal ini dapat memperburuk situasi.  
- Akui kesalahan jika perlu: Jika brand melakukan kesalahan, jujurlah dan berikan komitmen untuk memperbaikinya.  
- Berikan pembaruan berkala: Sampaikan perkembangan terbaru untuk menunjukkan bahwa masalah sedang ditangani dengan serius.  

Contoh Nyata: 
Pada tahun 2018, Starbucks menghadapi boikot besar setelah insiden diskriminasi rasial di salah satu gerainya di Philadelphia. CEO Starbucks langsung meminta maaf secara terbuka, menutup semua gerai selama sehari untuk pelatihan kepekaan rasial, dan menunjukkan langkah-langkah perbaikan yang konkret. Tindakan transparan ini membantu mengembalikan kepercayaan publik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun