Minggu sore...
Berbekal kamera kecil dengan lensa 50 mm, saya sempatkan diri berjalan menyusuri kawasan Kayutangan menuju Alun-alun Kota Malang. Dahulu, tempat ini merupakan perwujudan tata kota kuno dimana terdapat penjara, tempat ibadah, pasar dan pusat pemerintahan. Kini, tempat ini menjelma menjadi salah satu taman yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik. Banyak dari pengunjung yang berasal dari luar kota. Sekedar ingin menikmati Bakso Malang kata mereka.
Suara gending jawa...
Saya mengurungkan niat bernostalgia dengan bangunan gedung disekitaran alun-alun. Telinga dan mata saya tertuju pada salah satu sudut taman. Suara gending jawa mengalun dari sound sistem yang bisa dibilang portable, meski ukurannya besar. Terlihat sosok tubuh mungil berbalut pakaian tari tradisional lengkap dengan aksesoris topeng dan jaran kepang. Dia menari, mengikuti suara gending terlihat sangat ritmik.
Menari untuk hidup...
Saya duduk bersama dengan anggota group kesenian Tari Jaran Kepang Putro Budoyo. Mencoba melihat apa yang mereka lihat dan memulai percakapan. “Monggo Mas, difoto” sapa salah satu anggotanya. Grup kesenian yang bermarkas di Jl. Klayatan 2 ini ternyata adalah satu keluarga. Sang ayah bertugas layaknya manajer pertunjukan, sedangkan anak pertama bertanggung jawab akan sound system. Dua anak lainnya, satu perempuan berusia sekitar 14 tahun dan seorang lelaki berumur 11 tahun an menjadi penari jaranan. Tanpa diberi komando dan seakan otomatis, si anak perempuan segera mengenakan topeng dan kemudian menari. Dari gerakan tangan dan hentakan kaki, tampaknya gadis ini sangat hafal betul kombinasi tari dan gending yang mengalun. Di sisi lain, sang adik berkeliling sembari membawa ember kecil berwarna pink. Dia menunggu seorang penonton untuk memberikan kepingan uang receh sebagai ongkos menonton. Satu per satu ia datangi, meskipun tak banyak yang memberikannya uang tips. “Biasane dino minggu ki akeh wong do wenehi duwit” tutur si anak dalam Bahasa Jawa. Kalau diterjemahkan berarti, “Biasanya di Hari Minggu, banyak orang yang memberikan mereka duit”. Hampir seluruh pendapatan yang diperoleh, mereka gunakan untuk makan sehari-hari.
Satu gending pengiring sudah selesai. Sang penari perempuan mengakhiri tariannya. Kini giliran anak paling kecil dalam keluarga penari ini untuk unjuk kebolehan. Dia menyerahkan ember kecil kepada sang kakak. Raut wajahnya menyiratkan rasa lelah dan keenganannya untuk meneruskan menari. Benar saja, ia duduk lesu disamping sang ayah. “Lek ra nari, ngko bengi ra usah mangan kowe” sergah sang kakak pertamanya sembari tersenyum. Bocah kecil itu memalingkan wajahnya kepada sang ayah. Tidak ada ekspresi yang diperlihatkan sang ayah. Bergegas bocah itu mengambil jaran kepang dan kemudian menari.
Kehilangan panggung...
Beberapa hari sebelumnya, saya menjumpai sepasang suami istri yang juga menari jaran kepang. Saya jumpai mereka saat berjalan sambil menggendong peralatan sound system sebagai alat pemutar gending. Mengapa mereka harus seperti ini ?. Mengais rejeki di jalanan sembari memikul beban mempertahankan budaya lokal. Panggung pertunjukan bagi mereka adalah halaman taman dan jalanan. Mereka tak pernah memimpikan akan beraksi diatas panggung dengan penonton yang banyak. Sejatinya mereka adalah penari yang tak pernah kehilangan panggungnya, hanya tergusur untuk saat ini. Mimpi untuk pentas diatas panggung layaknya pagelaran Festival Reog Ponorogo bisa jadi hanya sebatas keniscayaan. Sekejam apa kita, hingga membiarkan impian mereka pupus? Sudah semestinya kita bertanggung jawab akan budaya negeri sendiri.
Menjelang magrib, saya lanjutkan langkah menyusuri kawasan pertokoan. Berbekal kamera kecil dengan lensa 50 mm, perhatian saya tertuju pada wajah-wajah para pekerja toko yang sedang makan mie pangsit dipinggir jalan. Saya putuskan untuk duduk dan mendengarkan pembicaraan mereka. Mungkin ada cerita lain tentang ini. (irf/tr)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H