Jombang, Sumobito
Malam itu bulan begitu temaram dan sinarnya sangat terang, menemani perjalanan ke salah satu kota di jawa timur, Jombang. Pada malam itu memang lazim bagi orang jawa disebut padhangmbulan karena memang bertepatan malam tanggal 14 di kalenderQomariah (berdasarkan perputaran bulan), atau biasa disebut 14 Jumadil Awal di bulan Hijriah. Tanah basah bekas derasnya hujan di sore hari, membuat kota Jombang semakin dingin. Tetapi malam itu, seperti layaknya kota pendidikan, Jombang yangberdiri banyak pondok pesantren, mulai Ponpes berbasis tradisional dan belakangan ini banyak berbasis modern. Tetap memiliki daya pikat tersendiri. Sebuah kekuatan tersendiri yang mampu melahirkan banyak tokoh-tokoh besar tanah air, bukan hanya sekedar cerita Ryan dan Ponari
Beberapa ponpes besar yang hampir dalam runtutan sejarah Indonesia turut berperan besar dari masa perjuangan kemerdekaan, hingga Kudeta G 30 S, sampai tokoh-tokoh besar yang pernah lahir di kota ini.Masih teringat dalam ingatan bagaimana peran besar Nurcholish Madjid dalam mengawal keganasan rezim orde baru, yang menyebar teror bagi rasa aman dan damai, serta perana besarnya dalam mengawal lengsernya Soeharto bersam 8 tokoh lainnya. Selain ketokohannya sebagai figur teladan nasional, peran Cak Nur begitu besar dalam membangun tonggak ideologisasi dan rel gerakan bagi HMI. HMI sebagai salah satu organisasi besar dan dewasa, yangmemang pada dekade akhir ini, alumninya banyak mewarnai kancah percaturan politbiro serta ketokohan di masyarakat.Indikasi resminya adalah HMI menjadi salah satu penentu masa depan kehidupan kebangsaan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Terlahir dari putra tokoh agama terkemuka di kota Jombang, Kyai Abdul Madjid. Cak Nur menjelma sebagai tokoh yang besardi ponpes besar seperti Gontor-DarussalamUIN Jakarta dan Amerika.
Selain Cak Nur, ada mantan presiden ke- 4 RI yaitu Abdurachman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur.Gus Dur yang memiliki akar luri (bakat keturunan), dari KH Hasyim Asyari (Kakek dari ayah), serta Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) yang di jaman perjuangan melawan pendudukan Belanda dan Jepang menjadi garda terdepan perjuangan menuju kemerdekaan. Wahid Hasyim kemudian menjadi menteri agama pertama kali masa presiden Soekarno. Sayang sekali di usia muda beliau wafat dalam kecelakaan mobil di Jawa Barat. Wahid Hasyim sebagai putra Ponpes Tebu Ireng yang kemudian menikah dengan Putri pemilik Ponpes Denanyar-Jombang, KH Bisri Syansuriyang sekaligus tokoh pendiri Nahdlatul Ulama. Di masa salanjutnya terlahirlah Gus Dur sebagai salah satu tokoh besar dari kota Jombang.
Satu persatu memori panjang akan Kota jombang terputar, kendaraan kami-pun tetap berjalan menuju salah satu sudut kecil kota ini. Akhirnya kendaraan kami turun di daerah, yang pada sebuah papan sekolah dasar bertuliskan Menturo-Sumobito, Jombang. Disinilah pernah lahir budayawan dan agamawan, MH Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun. Dari 3 tokoh masa pertengahan ini, Cak Nur, Gus Dur. Maka Cak Nun adalah tokoh sepuh yang masih eksis berbicara pembangunan kehidupan kebangsaan, pluralitas, kesamaan hak antar suku bangsa, kedamaian dan indahnya kebersamaan serta akhir-akhir ini sering berbicara tentang makna dan hakekat demokrasi.
Cak Nun yang kemudian akrab dengan gending jawa modern yang digubah oleh seniman jogja yang dikenal dengan komunitas Kyai Kanjeng. Dari masa ke masa, Cak Nun memiliki peran besar dalam mengawal perubahan politik dari rezim Soeharto ke dalam masa reformasi. Beberapa penjelasan beliau kepada Presiden Soeharto, berhasil membuat pimpinan orde baru tersebut legowo untuk turun tanpa adanya peristiwa militer berdarah. Harus juga dibedakan antara komitmen Soeharto dengan perintah para jenderal. “Sudah saatnya pak harto turun dan menjadi manusia sebenarnya, sudah lama pak harto tidak dimanusiakan oleh orang-orang pak harto, wong ga jadi presiden juga ga Patheken”, kalimat itulah yang menjadi salah satu kutipan beberapa media dan kadang-kadang disinggung Cak Nun di Acara diskusi rutinan di beberapa kota di tanah air. Cak Nun yang memiliki kecerdaasan komunikasi dan bisa menjelaskan secara “Njlentreh dan Gamblang”. Selama kurun waktu menjelang jatuhnya Soeharto dan sampai saat ini, Cak Nun tetap konsisten dalam membangun dan mengisi diskusi dan sholawatan di beberapa kota. Ada Komunitas Kenduri Cinta (TIM Jakarta), Padhang Mbulan (Jombang), Bangbang Wetan (surabaya), Mocopat syafaat di kasihan-Bantul, gambang syafaat di semarang, Obor ilahi di Malang dan Sidoarjo.
Banyak sekali konsepsi dan bangunan kebangsaan yang dipaparkan oleh Cak Nun, yang terkadang bahasa tulis belum bisa mengejar daya imajinasi beliau. Bagaimana menjaga Indonesia agar lebih damai, hal itulah yang selalu dikumandangkan di tiap-tiap diskusinya, dibumbui joke-joke segar untuk mendinginkan hati rakyat yang sedang bergejolak. Kebersamaan yang selalu di ucapkan dalam tiap diskusi, membangun kedekatan emosional dan perasaan yang sama. Sama-sama korban kebijakan Negara yangtamak, rakus dan korup. Kesejahteraan yang dijanjikan terasa semakin absurd dan parsial serta makin jauh dari yang seharusnya diberikan.Di forum-forum diskusi tersebut, seringkali rasa iba terucap yang ditujukan bagi para politbiro yang mengaku negarawan, ideolog dan bahkan mereka yang mengaku sebagai orang-orang yang paling berjasa untuk Negara ini.
Sesampainya di rumah kelahiran Cak Nun, kami langsung salaman dengan keluarga,kakak-adik dan Ibunda Cak Nun, lalu kami duduk di serambi rumah.Dengan suguhan sederhana dari desa, buah-buahan dan umbi-umbian, kami ngobrol ngalor-ngidul (Utara-selatan) dengan beberapa komunitas dan keluarga Cak Nun. Sampai beberapa jam kemudian Cak Nun datang ditemani kawan-kawan komunitas Bangbang Wetan. Setelah beliau ganti baju dan menyalami tamu yang hadir, Cak Nun pun bertanya seperti biasa “darimana ini tadi mas?”, kemudian saya jawab “saking jakarta Cak, ada beberapa agenda yang pengen kami dengar komentar dari Cak Nun…” lalu saya-pun tutup poin dan bertanya tentang konsepsi bangunan NKRI, Kehidupan kebangsaan yang sedang mengalami krisis dan bagaimana pendapat Cak Nun terkait 4 Pilar kebangsaan gaya Taufik Kemas, ketua MPR-RI.
Hanya tiga pertanyaan dasar tersebut yang selama hampir 3 minggu saya siapkan. Kenapa saya harus menyiapkan tiga pertanyaan pokok tersebut. Sudah sejak tahun 1998 saya mengikuti jejak grup sholawat Cak Nundan Kyai Kanjeng, aktif dalam diskusi sejak tahun 2006. Walau tidak dikategorikan memahami gaya Cak Nun, tetapi ada satu hal yang mesti dipahami, bahwa pemahaman dan kecerdasan Cak Nun dalam memahami kondisi Negara dan bangsa ini sangat mendalam dan menyeluruh. Runtutan sejarah geo-politik pemerintahan masa kerajaan-kerajaan, konsepsi penyebaran dan masuknya agama-agama di nusantara, sejarah fikih dan tafsir islam-pun beliau paham. Bukan hanya itu, peta ekonomi dan hegemoni global masa kini dan yang akan datangpun, beliau banyak menyinggung. Sehingga dalam tiap kali beliau di sodorkan pertanyaan, apalagi sangat subtansial, jawabannya bisa panjang lebar dari barat hingga ke timur. Itulah mengapa saya hanya menyiapkan tiga pertanyaan saja.
Dalam menjelaskan konsepsi dasar 4 pilar kebangsaan yang ditulis oleh taufik kemas yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian Cak Nun memberikan penjelasan awal dengan prolog dan latar belakang mengunakan analogi yang beda dan unik. Bahwa Pilar kebangsaan kita ini ibarat pohon yang memiliki akar, batang pohon, dahan dan ranting lalu daun.Jikalau pilar kebangsaan ini, NKRI masuk di dalamnya, maka yang kemudian menjadi pohonnya yang mana. Mestinya NKRI ini memiliki pilar kebangsaan terlebih dahulu. Bukan kemudian NKRI masuk dalam pilar kebangsaan. Justru NKRI ini harus memiliki bangunan yang menyokong supaya tetap bisa berdiri. Mestinya pilar-pilar itu yang menyokong NKRI, bukan kemudian NKRI masuk sebagai pilar. -Semakin malam semakin banyak orang berdatangan ke acara malam padhang mbulan-. Kemudian uraian Cak Nun terputus karena agenda diskusi Padhang Mbulan dimulai sekitar pukul 22.00 wib.
Setelah forum diskusi dibuka dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an disusul nada sholawat, segera Cak Nun membuka dan memberikan pengantar guna memanaskan forum.Sempat disinggung perasaan hormat dan penghargaan akan niat baik kami, jauh-jauh dari Jakarta ke Menturo-Sumobito guna mendengarkan dan menunggu jawaban beliau akan konspsi empar pilar kebangsaan. Niat baik kami guna menemukan jawaban, apa sebenarnya konsepsi empat pilar tersebut sudah tepat atau belum, sudah sesuai dengan runtutan sejarah atau belum. Dalam forum diskusi tersebut sempat di singgung bahwa mestinya empat pilartersebut menjadi salah satu solusi dari problem Negara dan bangsa yang sedang sakit dan kalut ini.
Dalam diskusi tersebut kembali saya menanyakan pertanyaan yang sama terkait empat pilar. Dan Cak Nun menjelaskan bahwa pohon itu ya NKRI. Kemudian Pohon itu memiliki dahan, ranting dan akar yaitu UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila karena itu produk manusia dan tokoh-tokohnya. Lalu bagaimana Pohon memiliki pilar didalamnya yaitu pohon. Pilar adalah penopang berdirinya sebuah rumah, pilar berfungsi sebagai kerangka suatu bangunan, kerangka dan organ tubuh bahkan satu kesatuan, sesuatu yang disebut pohon. Tetapi kita juga harus menghargai konsepsi dan niat baik dari taufik kemas dalam usaha memperbaiki kondisi kebangsaan tersebut. Malam terus berjalan dan banyak pertanyaan dalam forum diskusi Padhang Mbulan itu, mulai dari masalah pentingnnya sholawat dan berbagai aliran atau firqoh islam, mulai dari pentingnya bersabar dan mengendalikan emosi seperti yang diajarkan Rosululloh. Dengan niatan tidak ingin merusak khusyuknya forum itu karena tema yang berbeda dengan niatan kami, kamipun bersabar hingga selesainya acara.
Acara tersebut ditutup pukul 01.30 wib, dini hari. Kemudian saya masih menunggu konsepsi dan jawaban Cak Nun terkait pilar kebangsaan, yang jauh hari sebelum buku tersebut terbit, pernah dibahas dalam beberapa forum diskusi, namun sedikit beda. Dalam penjelasan yang begitu gamblang sekitar setengahjam tersebut, Cak Nun menjelaskan dengan runtut dan sabar, terkesan bersahaja sekali beliau malam itu.
NKRI ini berdiri tentu ada yang menjadi pendorong dan pendukung utama. Nah yang harus kita pahami adalah Negara ini berdiri didukung oleh 5 pilar pokok. Pertama adalah Rakyat. Rakyat yang kemudian hari menjadi petani dan banyak profesi bahkan sampai pedagang asongan merupakan bagian terpenting dalam menopang, membela dan memperjuangkan terbentuknya NKRI. Selain itu hampir di tiap-tiap sejarah kerajaan-kerajaan selalu ada rakyat mulai masa Nabi Sulaiman, Majapahit dan Sriwijaya hingga Nusantara menjadi NKRI, semua butuh rakyat. Rakyat tetap mengambil bagian penting dalam setiap momentumnya. Inilah inti yang dikelilingi pagar di tengah dari semuanya. Rakyat adalah puncak paling tinggi dari semua kepentingan. Kedua, merekalah Kaum Negarawan-cendikiawan, maksudnya mereka adalah para tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan seperti Hatta, Muhamad Nasir ali Sastroamijoyo, Yamin Soekarno dan angkatan meraka. Bisa dikategorikan kaum intelektual, ulil abshar atau ulin nuha. Kelompok inilah yang memiliki peran besar sebagai pejuang kemerdekaan dan pasca merdeka. Merekalah yang memberikan tonggak dasar sendi-sendi negara bahkan kebangsaan sekaligus pancasila.
Ketiga adalah Tentara Rakyat, meraka inilah yang memperjuangkan dan mempertahankan berdirinya NKRI. Dalam masa perjuangan membentuk NKRI, tentara rakyat memiliki peran besar yang pada pokoknya bertugas memikul persenjataan. Tentara rakyat pada masa berdirinya NKRI juga berperan mempertahankan setiap titik wilayah dari satu pulau ke pulau lainnya. Sampai pada akhirnya, hari ini kita kenal TNI dan Kepolisian. Keempat adalah kebudayaan dan kerajaan-kerajaan yang disana terlahir raja-raja kerajaan dan identitas di seluruh nusantara yang rela meyerahkan kedaulatan mereka untuk NKRI. Mereka memiliki otonomi terhadap wilayah mereka, Sri sultan Hamengkubuwono IX rela menyerahkan kuasanya untuk NKRI belum lagi Ternate, Gowa, Kutai, Darusalam dan banyak lagi kerajaan di nusantara ini. Merekalah yang menyerahkan daerahnya bagi berdirinya NKRI, yang walau saat ini mereka dihina, di injak-injak oleh NKRI, tetap bersabar dan tenang. Itulah otonomi sebenarnya dan persemakmuran gaya Inggris di Indonesia. Raja-raja inilah yang sampai saat ini ditinggalkan dan dilupakan Negara.
Kelima yaitu mereka kaum agama dan spiritualis, seperti Ulama dan kyai-kyai. Dalam konsepsi gerakan organisasi kegamaan di masyarakat, kita mengenal organisasi besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, masyumi sampai PSI dengan beberapa tokoh pendirinya yang juga sebagai pahlawan nasional. Agamawan inilah yang berjuang dalam menyatukan persepsi akan kemerdekaan dan hak-hak untuk merdeka melalui ajaran Islam. Hadirnya Islam sebagai jalan menuju kemerdekaan mampu mendorong semangat dan pengetahuan modern akan pentingnya ilmu pengetahuan dan modernitas. Semangat itulah yang berlanjut dari waktu ke waktu mulai awal ajaran ulama awal, yang lazim dikenal Wali Songo di Tanah Jawa, sampai pujangga di tanah Sumatera hingga Makasar dan Kalimantan.
Kemudian saya menanyakan komentar akan perbedaan pandangan tersebut kepada Cak Nun, beliaupun menjawab datar dan bijak. Kita harus menghargai dan menghormati itikad baik, usaha orang lain untuk berusaha memperbaiki kondisi kebangsaan yang sedang banyak masalah ini. Taufik Kemas harus tetap belajar untuk memperbaiki kondisi saat ini dan tolong juga bagi kalian semua juga, jangan menjadi aktifis ojo gampang stress-an (jangan mudah stress), ojo nesu-nan (jangan mudah marah) dan gampang terpancing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H