Mohon tunggu...
mochamad irfansyah
mochamad irfansyah Mohon Tunggu... -

The Proletar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Membahasakan Omongan – Membahas Omongan

25 April 2015   11:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Omongan

Sokrates adalah seorang filsuf  Yunani yang hidup 470 SM. Ada yang mengatakan ketika Sokrates mengajarkan filsafatnya dia tidak pernah menyampaikan dalam bentuk tulisan. Sokrates lebih senang pergi kepasar untuk meneriakan gagasannya daripada memilih merenung di dalam kamar dan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan.

Ia sering berjalan-berkeliling di pasar kota Atena dan meneriakan kepada khalayak umum, “Kamu harus mengenali dirimu sendiri, Sungguh kamu harus mengenali dirimu Sendiri”, ketika ada orang yang bertanya padanya “Hai Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya menjawab, “Saya tidak tahu, namun saya tahu bahwa saya tidak tahu!”.

Kehadiran sokrates dipasar dengan segala “omongan”nya, semakin lama menimbulkan reaksi yang beragam dikalangan masyarakat pasar. Ada yang simpati dengan apa yang ia “Omong”-kan dan ada yang tak tertarik sama sekali. Yang bersimpati , akan berhenti sejenak dan mendengarkan dengan seksama. Sedangakan yang tak bersimpati, beberapa ada yang sekedar lewat dan ada yang sampai tidak sepakat dengan nada tinggi yang mengecam.

Sejatinya reaksi masyarakat pasar yang simpati dan anti kepada Sokrates, bukanlah tentang Sokrates dan apa yang ada dalam dirinya, namun tentang “omongan”nya yang mengandung daya tarik dan daya tolak, Baik “omongan” yang dibahasakan melalui mulutnya ataupun yang dibahasakan melalui perilakunya. Karena dengan adanya “omongan”-nya, beberapa masyarakat di pasar menjadi terwarnai oleh kehadiran Sokrates, dan dikemudian hari ada yang menganggapnya sebagai guru yakni plato, dan ada juga yang menganggapnya sebagai musuh yakni para kaum Sophist.

Omongan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan sebenarnya tidak boleh sembarangan dibahasakan. Karena “omongan” adalah cerminan sifat seorang manusia sebagaimana Sokrates dengan segala “omongan”nya adalah cerminan dari sifat kefilsufannya. Omongan juga merupakan sebuah makna yang keberadaannya berada di alam mental, yang memiliki kemiripan dengan sifat magnet, disisi lain ia mengakibatkan keterikatan dan disisi lain menyebabkan penolakan.

Betapa pentingnya sebuah “omongan” sehingga kita mengenal keberadaan segala sesuatu. Bayangkan apabila tidak ada “omongan”, mungkin dunia ini tak lagi menarik  sebab ketiadaan bahasa yang diadakan oleh omongan. Ketiadaan “omongan” juga mengakibatkan ketidak-kenalan manusia kepada Tuhan-Nya, sebab Tuhan membutuhkan adanya “Firman” agar manusia mengerti apa yang dimaksutkan-Nya. Sedangkan Firman merupakan bentuk dari “omongan” Tuhan. Jadi manusia ini tidak lebih dari sekedar patung jika tak ada “omongan”.

Jadi seperti ini simplenya; Ketika kita membahasakan sesuatu sesungguhnya kita sedang mengungkapkan omongan (makna) dan bukan bahasa.

Syarat omong

Syarat utama lahirnya sebuah “omongan” adalah adanya pengomong atau subjek yang berbicara. Saya rasa keberadaan Subjek ini sudah jelas sebagai syarat adanya omongan dan tak perlu diperbincangkan lebih dalam. Karena tidak mungkin “omongan” itu bersumber dari ketiadaan. Subjek ini bisa disandang oleh siapapun yang bisa ngomong atau membahasakannya, bisa; manusia, Iblis, Jin, Malaikat ataupun Tuhan.

Syarat kedua yang menimbulkan adanya omongan adalah adanya “Objek” yang membuat kita tertarik untuk “ngomong” atau memunculkan “omongan”. Setiap orang yang ngomong pasti memiliki objek yang harus ia Omongkan. Misalnya ; ketika kita ngomong “Apa?”, tentu kita memiliki sebuah objek yang diomongkan, yakni “ke-apa-an” itu sendiri. Ke-apa-an itu sendiri bisa jadi adalah manifestasi dari kegelisahan, ketidakmengertian, kekecewaan, penegasan ataupun yang lainnya.

Ketiga yaitu adanya alat untuk ngomong. Seseorang tidak akan mungkin bisa ngomong apabila tidak ada alat yang ia gunakan untuk membahasakan apa yang akan ia omongkan. Esensi dari omongan adalah menyampaikan sebuah pesan, baik kepada orang lain ataupun kepada diri sendiri. Sebuah pesan tentu membutuhkan sebuah alat perantara agar bisa sampai kepada penerimanya.

Di Planet bumi, manusia biasanya menggunakan mulut untuk membahasakan omongannya. Apabila manusia tidak memiliki mulut, ia akan menggunakan bahasa isyarah melalui pergerakan tangan, mata, muka, atau mimik wajahnya. Jadi, alat pembahasa’an omongan sebenarnya tidak melulu haruslah bahasa verbal, namun bahasa non-verbal juga bisa digunakan untuk menyampaikan pesan atau omongan. Konon, dahulu masyarakat jawa sering menggunakan isyarah mistis berupa “Santet” untuk mengomongkan ancaman kepada orang lain. Atau ada juga yang disebut “telepati” yang menggunakan kekuatan otak dalam mantransfer informasi. Dalam dunia modern ini, orang tidak lagi harus bertatap muka untuk ngomong. Omongan bisa disampaikan lewat telphon ataupun Sosmed. Bahkan di Facebook cukup dengan simbolisasi “like” dan “colek” itu sudah bisa mewakili apa yang akan kita omongkan. Begitu-pun dengan Tuhan, dalam menyampaikan pesan-Nya kepada para Nabi, menggunakan Wahyu yang berisikan Firman dimana rupa, bentuk atau bahasanya kita tidak mengerti seperti apa.

Ngomong Sembarangan ?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya meyakini bahwa “omongan” adalah sesuatu yang sakral. Diperlukan kehati-hatian dalam setiap membahasakan “Omongan”. Orang yang apabila dalam membahasakan omongan tak pernah terkontrol – Angger Njeplak – maka akan diliputi dalam hidupnya kegelisahan dan ketidaknyamanan. “Omongan” adalah cerminan diri, sehingga apabila esensi dari omongan seseorang tidak memberikan kenyamanan, berarti secara sadar atau tidak sadar seseorang itu sedang berada dalam kondisi yang tidak nyaman.

Orang sering salah dalam mengartikan makna “To The Point” dan “Angger Njeplak”. “To The Point” adalah omongan yang taktis dengan metode berfikir yang jelas dan terarah. “To The Point” sebenarnya sedang berusaha memberikan gambaran ideal tentang sebuah kenyamanan berfikir, berbeda dengan “Angger Njeplak” yang diliputi dengan ketidakseriusan dan banyak dibumbui dengan sindiran, tentu metode “omong” yang seperti ini tak pernah mencantumkan gambaran ideal dalam berfikir.

Setiap usaha kita membahasakan sesuatu lewat “omongan”, pasti akan memiliki pengaruh dan tidak memiliki pengaruh. “Omongan” yang memiliki pengaruh lebih jauh akan melegitimasi sebuah sistem kebenaran kepada yang terpengaruh. Omongan akan memberikan pengaruh apabila bersinggungan dengan seseorang yang sedang memperhatikan omongan kita. “omongan” yang sampai menyentuh – bersinggung – dengan tempat paling intim dalam lubuk hati seseorang akan menyebabkan sebuah ekspresi ; tangisan, pengharapan, kebencian, kegembiraan dll. Ekspresi-ekspresi ini biasanya diwujudkan secara fisik menjadi belaian, pukulan, senyuman, teriakan, hinaan, cacian, pembunuhan dll.

Kekuatan pengaruh “omongan” selain ditimbulkan oleh isi dan kemantapan pembahasa’an, juga dipengaruhi dengan cara ngomong. Cara ngomong itu ibarat tampilan muka, ia akan mencoba menarik mangsa dengan percikan-percikan keindahan yang meliputinya. Cara ngomong ini bukan hanya berkenaan dengan cara pembahasa’an, tapi juga berkenaan dengan sikap, moral, tingkah, dan respon lingkungan sekitar. Orang yang “Angger Njeplak” tidak akan pernah memperhatikan bagaimana cara dia bersikap, respon masyarakat sekitar, dan tepat tidaknya omongan dihadirkan. Kalaupun ia memperhatikan, pasti itu hanya sekedar pandangan tanpa pelaksanaan.

Perilaku “sembarangan” dalam “omongan” bisa saya katakan sebagai penistaan terhadap martabat omongan itu sendiri. Orang yang tidak memperhatikan cara ngomongnya dan tutur bicaranya, sebenarnya ia tidak sedang menyampaikan sesuatu apapun selain kebohongan. ketika pepatah mengatakan bahwa  “Diam itu emas”, pepatah itu hendak menyampaikan kepada kita untuk tidak menyia-nyiakan setiap kata dari setiap mulut.

Omongan adalah Do’a –Hematlah Berbicara –

Mevlana Rumi mengatakan “Manusia itu dikatakan manusia apabila bisa mengontrol hawa nafsunya”; Ngomong adalah sesuatu hal yang sangat mengasyikan. Dengan ngomong kita bisa melampiaskan segala rasa dan asa kita. Saking nikmatnya, ngomong juga bisa menjadi candu bagi kehidupan kita. Maka kenikmatan dalam ngomong ini ada yang sifatnya semu seperti candu adapula yang sifatnya hakiki seperti doa.

Tuhan selalu menuntut kita untuk memperhatikan setiap omongan kita. Betapa banyak kecaman yang kita jumpai dalam kitab-kitab-Nya perihal omongan, semacam isyarah seperti : berhentilah menggunjing, jangan memfitnah, hindari perdebatan, dll.

Pengomong serta Omongan yang terkontrol dan memiliki kemantapan, pasti dipenuhi dengan kearifan. Orientasinya tidak lagi tentang hasrat ngomong, tapi lebih tentang kemestian-kemestian dalam berbicara. Kemestian berbicara ini usaha untuk menempatkan omongan sebagaimana adanya dan sebagaimana mestinya. Sehingga dalam berbicara, apabila tidak ada kemanfaatan yang ditimbulkan maka pengomong akan memilih untuk diam. Dan tak mungkin seorang pengomong yang memiliki kemantapan akan sembarangan berucap kata “Ahh!!” atau sembarangan menampakkan ekspresi wajahnya.

Ada yang mengatakan “Omonganmu adalah do’amu”. Pada awalnya, saya menganggap perkataan ini tak logis. Dahulu saya berasumsi bahwa bagaimana mungkin omongan memiliki relevansi dengan do’a yang jauh diawang-awang. Namun setelah mengupas lebih dalam mengenai anatomi “ngomong”, saya jadi semakin mengerti bahwa setiap omongan yang kita keluarkan sejatinya memang berisi pengharapan-pengharapan. Dan pengharapan-pengharapan itu secara tidak langsung akan berkonsekuensi dengan kehidupan kita.

Ada seorang pepatah super, saya lupa namanya; mengatakan :

“Hindarilah segala sesuatu yang membuatmu Indah semasa di Dunia, maka keindahal yang lebih hakiki akan sukarela menjemputmu”.

*Tanggal 25 April 2015, Oleh Mochamad Irfansyah (Mahasiswa Ilmu Sejarah Airlangga).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun