Yup, selama tinggal di Qatar, saya dan suami lebih sering menggunakan pembayaran nontunai atau cashless dalam setiap transaksi. Belanja bulanan di supermarket, makan di cafe/restoran, jajan di minimarket, belanja di toko, terkadang beli bensin dan bayar parkir juga. Kebanyakan parkir di Qatar gratis, tapi di airport dan Souk Waqif (pasar tradisional terkenal di Qatar), untuk bayar parkir kita tinggal memasukkan kartu ke mesin pembayaran parkir.
Untuk pembelian air galon, kami pakai buku voucher yang berisi 30 lembar voucher, jadi tiap kali ganti galon tinggal memberikan voucher-nya. Satu lembar voucher untuk satu galon. Bila kelupaan naruh si buku ini (maklum emak-emak rempong suka lupaan), baru deh kelabakan nyari uang buat belinya, korek sana-sani, longok kolong tempat tidur dan bawah kasur, hahaha...
Kami jarang menggunakan transportasi umum. Anak-anak ke sekolah ada yang pakai bus sekolah yang bayarnya per-term (3 bulan), yang pakai taksi langganan dibayar per-2 minggu. Bayaran sekolah pun memakai cek atau internet banking. Begitu juga pembayaran sewa apartemen, menggunakan cek.
Bahkan untuk si sulung yang sudah diizinkan sekolah jajan di kantin, sekolahnya memberikan kartu semacam e-money. Kartu ‘Kan-Teen’ ini diisi uang sebanyak yang diinginkan, kalau anaknya jajan, kartunya diberikan ke kasir untuk diambil saldonya sesuai dengan jajanan yang dibeli.
Jadi sejauh ini transaksi kami lebih banyak cashless. Karena sistem cashless ini biasanya menawarkan banyak diskon di outlet tertentu, juga dapat poin yang bisa ditukarkan menjadi voucher belanja di toko-toko tertentu.
Sebenarnya di Indonesia pun kami cukup sering pakai cashless, karena sangat praktis dan mudah. Bawa uang rupiah dalam jumlah besar itu membuat dompet menggelembung sampai kadang tidak bisa ditutup, hehehe... Lagi-lagi saya membandingkan dengan Qatar. Sebenarnya nilai 1 Qatar Riyal (QR) hanya Rp3500, namun QR punya pecahan kertas terbesar bernilai 500QR setara Rp1.800.000. Bayangkan bila uang rupiah, untuk membawa uang di atas 1 juta, kita harus mengantongi lebih dari 10 lembar uang seratus ribu karena sampai hari ini, setahu saya pecahan kertas terbesar rupiah adalah 100 ribu. Sudah dipastikan dompet jadi bengkak yang bisa mengundang perhatian orang jahat. Karena itulah bila di Indonesia, saya dan suami lebih suka bertransaksi  cashless.
Tapi untuk hidup 7 hari tanpa uang tunai di Indonesia agak susah sepertinya, karena jajanan abang-abang yang enak-enak itu belum ada yang bayarnya pakai kartu. Dan untuk belanja sayur-mayur sehari-hari, saya lebih suka di pasar tradisional atau di abang-abang sayur yang lewat depan rumah, yang tentunya tidak bisa bayar pakai kartu. Begitu juga untuk bayar angkot dan bayar parkir, kalau kita kasih kartu buat bayarnya, bisa-bisa ditimpuk supir angkot dan abang parkirnya sambil dibilangin belagu, hihihi….
Namun tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi negara yang cashless society (sekarang lagi menuju ke sana). Kita obrolin yuk apaan sih si cashless ini.
Pengertian Cashless
Cashless adalah sistem pembayaran tanpa uang tunai, menggunakan sebuah alat pembayaran yang bermacam-macam bentuknya, mulai dari kertas, kartu, stiker, hingga dalam bentuk chip (untuk electronic money).
Pada Agustus 2014, Bank Indonesia melakukan kampanye Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di seluruh wilayah Indonesia untuk memacu target pertumbuhan nontunai sebesar 10%, mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang sudah lebih dulu menggalakan cashless society. Hasilnya cukup menggembirakan, pada 2013-2014, kenaikan jumlah transaksi nontunai sekitar 47%, sedangkan di 2015 kenaikannya menjadi 163% dibandingkan jumlah transaksi di 2014. Ini menandakan masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah ke atas di kota-kota besar sudah semakin banyak menggunakan cashless.