Tak terbayangkan sebelumnya, memasuki usia pernikahan ke-10, saya dan suami harus menjalani hubungan jarak jauh. Sangat tidak siap menghadapinya karena selama sepuluh tahun itu kami selalu bersama. Dan yang paling berat, saya yang akan melahirkan anak ketiga ditinggalkan suami di gurun pasir, jauh dari orang tua dan sanak famili. Sudah 6 tahun saya ikut suami yang kerja di Kuwait. Anak kedua kami lahir di Kuwait juga. Tak disangka, kelahiran putri yang kami dambakan, tidak ditunggui ayahnya karena harus bertugas ke Perth, Australia, lima bulan lamanya. Padahal dua kelahiran sebelumnya, suami selalu setia menemani di ruang persalinan menyaksikan detik-detik kelahiran putranya.
Bila tak memikirkan sekolah anak-anak, ingin rasanya saya kabur saja ke Indonesia ketika tahu harus terpisah lama dengan suami. Sebutlah saya cengeng, tapi demikian adanya, saya benar-benar ketakutan ditinggal suami. Karena di Kuwait, saya sangat tergantung padanya. Tidak bebas melangkah seperti halnya di Indonesia. Apalagi saya sama sekali tidak bisa menyetir, sehingga pergi kemana pun dengan suami. Sesekali bila terdesak, naik taksi panggilan, yang tarifnya lumayan mahal. Selain itu saya tinggal di apartemen yang sama sekali tidak ada orang Indonesianya. Sehingga tidak ada teman yang bisa dimintai tolong dalam waktu cepat. Sementara dengan tetangga apartemen sama sekali tak saling kenal, benar-benar individualistik.
Menyadari ketakutan saya, suami benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya agar saya tenang dan tidak kesulitan ketika dia pergi. Terutama karena saya harus melahirkan dan mengurus dua anak laki-laki yang masih kecil dan sedang aktif-aktifnya bermain juga berantemJ
1. “Mengimpor” Orang Tua
Ketika anak kedua kami lahir di Kuwait, kami menjalaninya sendirian tak didampingi orang tua seperti dulu kelahiran anak pertama. Berhubung suami akan pergi ke Perth, kami meminta ibu dan bapak saya untuk datang menemani ke Kuwait. Awalnya berharap ketika lahiran didampingi suami, tapi sampai waktu keberangkatan diundur seminggu, putri kami tak juga kunjung lahir. Akhirnya baru lahir setelah tiga hari ayahnya pergi. Kehadiran ibu dan bapak sangat menguatkan moril saya. Namun karena kendala bahasa, bapak saya tidak bisa membantu banyak ketika mengurus administrasi di rumah sakit. Karena itu suami menitipkan saya pada teman-teman dekat kami. Alhamdulillah, ada seorang sahabat yang sudah saya anggap sebagai kakak perempuan, yang kebetulan sehari-harinya menyetir, mendampingi saya selama proses lahiran. Pun setelahnya, ketika saya harus wara wiri mengurus akte kelahiran dan dokumen lain yang berhubungan dengan bayi yang baru saya lahirkan. Sehari setelah lahiran, dalam kondisi badan yang masih remuk redam sambil menggendong bayi karena ASIX maka tidak bisa ditinggal lama, saya bolak balik mengurus dokumen-dokumen bayi kami dari pagi sampai siang. Harus melipatgandakan kesabaran karena berhubungan dengan pegawai pemerintahan Kuwait yang terkenal tidak konsisten alias suka-suka mereka, peraturan bisa berubah tergantung mood mereka. Dan sebagai warga asing, kami tidak bisa protes banyak. Sampai akhirnya suami pun harus memohon ke kantornya agar diijinkan pulang dulu ke Kuwait, ketika proses pembuatan civil id putri kami tidak bisa diwakilkan siapapun, bahkan oleh ibu kandungnya sekalipun:( Karena bila telat mengurus civil id, melebihi waktu 60 hari, maka harus berurusan ke pengadilan dulu, yang pastinya ribet dan lama.
2. Menyiapkan berbagai Perangkat Komunikasi
Sebelum keberangkatannya, suami menginstall berbagai fasilitas untuk kami bisa komunikasi secara gratis di smartphone dan komputer. Memastikan internet di apartemen kami berfungsi secara maksimal. Walau apartemen yang kami tempati ada fasilitas internetnya, tapi karena koneksinya lambat, maka suami memutuskan untuk berlangganan internet sendiri dan memasang fasilitas wifi di rumah. Begitu juga di smartphone saya, agar bila di luar rumah bisa tetap dihubungi. Dan itu sangat membantu. Setiap saat kami bisa saling berhubungan tanpa harus takut biaya telepon membengkak. Masih ingat ketika hari H melahirkan. Saya ditemani bapak dan sahabat perempuan saya pergi ke rumah sakit pagi-pagi. Sampai siang hari saya belum bisa masuk ruang bersalin, karena ada masalah dengan kartu asuransi kantor, katanya kartu tersebut tidak bisa dipakai di rumah sakit tersebut. Bolak balik saya telepon menjadi perantara suami dan pihak rumah sakit juga kantor asuransi untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Baru menjelang siang hari permasalahan kartu asuransi itu selesai, dan saya pun bisa masuk ruang bersalin. Untungnya selama itu saya belum merasakan kontraksi yang sakit. Dan lebih beruntung lagi, kami berkomunikasi secara gratis lewat viber, sehingga saya tidak stres memikirkan pulsa yang membengkak,hehehe…
Setiap hari anak-anak juga bisa berkomunikasi dengan ayahnya. Lewat facetime, mereka bisa melihat ayahnya dan begitu juga sebaliknya, suami bisa melihat aktivitas anak-anak setiap hari. Terutama melihat perkembangan putri bungsu kami. Biasanya Dengan begitu anak-anak tidak begitu merasa kehilangan ayahnya. Setiap saat rindu, mereka bisa menghubungi ayahnya dan berbincang lama. Walau terkadang kasihan dengan suami, karena perbedaan waktu 5 jam, lebih dulu Perth, maka agar bisa komunikasi dengan anak-anak, dia harus begadang sampai larut malam, karena setiap harinya anak-anak pulang dari sekolah pukul 3 sore. Selain itu, kami pun berkomunikasi intens lewat whatsapp, berkirim foto-foto dan video lucu anak-anak, begitu juga suami berkirim foto-foto di Perth, sehingga saya bisa tahu bagaimana kesehariannya di sana.
Maka selama LDR (Long Distance Relationship) ini, saya sangat berterima kasih pada viber, facetime, whatsapp, dan facebook karena membuat kami tidak begitu merana selama terpisah jauh,hehehe…
3. Menimbun Kebutuhan Bulanan
Orang tua saya hanya bisa menemani saya selama 1,5 bulan, setelah itu saya ditinggal sendiri beserta tiga anak. Dan itu sangat tidak mudah. Apalagi ketika harus belanja kebutuhan sehari-hari. Pernah beberapa kali belanja dengan membawa anak-anak, rasanya lelah lahir batin. Dua anak cowok yang ribut membawa keranjang belanjaan masing-masing. Saya tidak mengawasi apa saja yang mereka beli karena kerepotan menggendong bayi sambil membawa keranjang belanjaan. Terkadang kami menjadi tontonan para pengunjung dan pegawai supermarket, terutama ketika bayi saya menangis rewel, mungkin mereka mengasihani saya yang tampak kerepotan sendirian. Belum lagi nanti harus membawa belanjaan yang seabrek itu ke lantai dua tempat apartemen kami berada. Karena itu sebelum pergi, suami bolak balik belanja ke supermarket untuk menimbun kebutuhan bulanan yang tahan lama seperti beras, minyak goreng, keperluan toiletries (sabun mandi, pasta gigi, sabun cuci piring, baju, pengharum baju, tissue, dsb), aneka chips dan biscuit buat anak-anak. Dan itu sangat meringankan saya, karena saya hanya tinggal membeli sayuran, buah, susu, dan makanan ringan lainnya.
4. Meyewa Part Timer
Sebelum ditinggal jauh suami, saya mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, bahu membahu dengan suami. Beberapa waktu setelah suami pergi, saya pun masih mengerjakan semuanya sendiri. Dan keteteran, karena putri bungsu kami masih menyita perhatian, tidak bisa ditinggal lama sendirian. Tidurnya pun masih harus terus dikelonin. Akibatnya untuk melakukan keperluan sendiri pun saya kesulitan, seperti mandi, shalat atau makan. Terkadang seharian menahan lapar, karena tidak bisa masak. Makan malam pun seringnya terlewat karena sudah terlalu lelah mengurus rumah dan anak-anak. Mandi seringnya kilat. Shalat pun terkadang dilakukan sambil menggendong bayi. Keadaan itu membuat saya stres dan merengek-rengek menangis memohon suami untuk segera pulang. Berkeluh kesah tiada henti. Hingga akhirnya suami memberi solusi yang dia beri nama “make it simple”:). Untuk urusan membersihkan rumah, kami menyewa part timer dua hari seminggu, yang bekerja selama tiga jam. Sangat membantu sekali karena saya tidak perlu lagi berlelah ria mengepel lantai rumah, membersihkan kamar mandi, atau menyetrika baju. Karena kalo soal rumah rapi, hanya bertahan satu dua jam, begitu anak-anak pulang sekolah, rumah kembali berantakan dengan mainan dan kertas-kertas prakarya mereka,hehehe…
Untuk urusan makanan, suami pun menyarankan saya untuk memesan saja. Sayangnya tidak ada catering harian. Namun tiap selasa, ada pengajian mingguan sekaligus bazaar mini makanan Indonesia hasil kreasi teman-teman yang pandai masak. Jadilah setiap selasa, saya pesan berbagai makanan untuk distok di lemari es, persediaan selama seminggu,hahaha… Suami juga memberikan link aneka restoran yang bisa melakukan delivery order. Dan terkadang untuk belanjaan mingguan, saya menyuruh supir taksi langganan untuk belanja di supermarket. Tinggal sms daftar belanjaan kita, dan dia pun bersedia membantu belanja. Bahkan beberapa teman sering saya titipin daftar belanja, hehehe… Alhamdulillah mempunyai teman-teman yang sangat membantu.
5. Komunikasi Jujur
Dari awal menikah, saya dan suami sepakat untuk saling jujur, tidak ada apapun yang disembunyikan satu sama lain. Karena itulah saya terbiasa menceritakan apapun sama suami. Padahal ayah saya berpesan agar tidak usah terlalu berkeluh kesah pada suami biar dia bisa bekerja dengan tenang. Namun kami berdua sepakat apapun yang terjadi, pada saat itu juga kami harus tahu. Bersyukur sekali dengan hal ini. Karena saya bisa gila bila harus mennyimpannya semuanya sendiri. Seperti ketika malam-malam, putra kedua kami tiba-tiba demam, saya panik dan sangat khawatir. Saat itu juga saya segera nge-whatsapp suami, yang kemudian menenangkan dan menuntun saya apa-apa yang harus dilakukan. Begitu juga ketika tengah malam saya terbangun dan mendapati ruang tengah banjir karena dispenser yang bocor, reaksi pertama saya selain menangis adalah memoto kekacauan itu dan mengirimkannya pada suami, tentunya dengan kata-kata yang dramatis,hahaha… Dan dengan sigap suami order online dispenser yang baru. Mengenai dispenser ini, ada kisah lain lagi, suatu hari ketika mau memasang galon baru, entah kenapa tutupnya terbuka, walhasil air pun tumpah ke mana-mana. Untuk tragedi ini, bukannya bersimpati dan empati, suami malah memarahi dan menyalahkan saya ceroboh. Emm…terkadang memang tak semuanya harus diceritakanJ
Dan ketika saya sudah sangat kewalahan dengan anak-anak cowok kami yang rasanya tiap saat ribut dan berantem terus, sementara bayi kami rewel tidak jelas, maka semuanya saya tumpahkan di whatsapp pada suami. Sering saya bilang saya menyerah saja tidak bisa lagi menjalani hubungan jarak jauh ini. Saya ingin hidup kami kembali normal, ketika pagi hari melepas anak-anak ke sekolah dan suami ke kantor, setelahnya membereskan rumah dan masak, sore hari menanti kedatangan mereka dengan wajah sumringah. Saya menangis, merengek, dan memohon. Hanya sekedar untuk melepas beban berat itu. Karena saya tahu sekeras apapun saya memohon, tidak akan merubah keadaan. Suami tetap harus menjalankan komitmen dan amanahnya. Dan nun jauh di sana, saya tahu suami saya pun menangis, berulang kali dia meminta maaf untuk ketidakberdayaannya, merasa bersalah karena harus meninggalkan saya dan anak-anak. Apalagi ketika menelpon, anak-anak bilang rindu sama ayahnya. Bila direnungkan, mungkin sebenarnya yang paling tersiksa adalah suami, karena dia sendirian, bener-benar sendirian tanpa istri dan anak-anaknya.
Dan pada akhirnya di setiap peristiwa pasti akan selalu ada hikmahnya. Bahwa dengan LDR ini saya belajar untuk bisa lebih mandiri tidak tergantung pada suami. Bahwa suami adalah orang yang paling berarti bagi saya. Bila dulu, bisa dulu suka cepat tersinggung dan marah dengan suami, maka setelah LDR saya belajar untuk lebih mendengarkan dan memahami. Untuk tidak cepat marah. Karena bila saya marah, maka rasanya sangat menyiksa. Sudah mah jauh, marahan lagi, duuu rugi sekali. Syukurlah sebentar lagi kami akan segera berkumpul lagi. Semoga kami tidak harus lagi menjalani LDR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H