Perkembangan pemikiran kini sudah tidak dapat dinafikan lagi adanya. Pada masa yang lalu pergolakan pemikiran di dunia Islam terjadi antar pemikir Islam ketika itu. Laju pemikiran tidak dapat dibendung lagi baik di dunia Islam, di Eropa, maupun di Amerika termasuk di Asia. Pada abad 11 “pertempuran” pemikiran di dunia Islam memunculkan tokoh Imam aL- Ghozali dan Ibnu Rusd. Kritik al-Ghozali terhadap dunia Islam yang memiliki loncatan-loncatan dalam pemikiran di ungkapkan secara jelas dalam bukunya Tahafut Al Falasifah. Serangan aL-Ghozali ini khususnya ditujukan para filusuf pada masa itu. Menanggapi aL-Ghozali, Ibn Rusyd tidak lntas diam, bahkan memberikan tanggapan yang tajam dalam bukunya Tahafut at-Tahafut. Tangapan Ibn Rusyd merupakan “pembelaan diri” yang brilian. Serta masih banyak dialektika pemikran masa itu.
Arus pemikiran di dunia eropa sendiri terjadi ditandai dengan adanya beberapa revolusi. Dimulai dari renaissance, penolakan masyarakat eropa terhadap doktrin-doktrin yang diberikan Gereja. Kemudian terma-terma tentang kebebasan menjadi pokok pembicaraan.
Di Indonesia sendiri tidak lepas dari pergolakan pemikiran yang terjadi di dunia pada umumnya. Hal ini terjadi karena para pemikir Indonesia tidak sedikit yang mempelajari tentang pemikiran di Luar negri. Bahkan tercatat beberapa aktor asal Indonesia yang juga berkontribusi terhadap perang pemikiran di dunia Internasional. Pada kemerdekaan sendiri dialektika antara Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir dan Tan Malaka terjadi dengan dahsyatnya. Arus pemikiran ketika itu terjadi oleh karena mereka sebagai para founding fathers bangsa ini memiliki akar pemikiran yang berbeda. Sampai kemdian setelah kemerdekaan Indonesia, dengan dipilihnya Soekarno sebagai Presiden Indonesia yang pertama, laju pemikiran mulai terbendung. Melihat tiga aliran pemikiran yang terasa sangat kuat ketika itu, Soekarno kemudian membuat komposisi dengan kombinasi ketiganya dengan konsep nasionalisme, sosialisme, dan islam. Walaupun konsep ini lebih dekenal dengan kebijakan politik, dengan pembagaian kekuasaan, namun lebih dalam dari itu, perbedaan ideologi tersebut terjadi berasal dari akar pemikiran masing-masing.
Menurut Arnold Toynbee (1957) peradaban manusia terjadi karena adanya challenge and response dalam realitas sosial. Dalam menjelaskan tentang perkembangan peradaban, Toynbee beranggapan bahwa sebuah pemikiran atau wacana yang muncul, kemudian akan ditanggapi dengan wacana lain. Pada masa orde baru hegemoni negara yang sanggat kuat, yang kemudian mengantarkan pada berkuasanya rezim orde baru selama 32 tahun, pun mendapatkan tantangan. Pengadopsian Teori WW Rostow yang di implementasikan dalam PELITA (Pembangunan Lima Tahun) pada rezim ini menjadi bukti pandangan orde baru tentang developmentalisme. Developmentalisme yang diperjuangkan oleh orde baru bersifat sangat sentralistik, dimana unsur pemerintah menjadi penentu segalanya. Developmentalisme yang begitu kuat menghegemoni masyarakat Indonesia kala itu juga mendapatkan tanggapan dengan kuatnya isu tentang civil society atau masyarakat madani. Mewacananya civil society di Indonesia tidak jauh bebada dari negara-negara lain di Eropa. Civil Society muncul karena diperlukannya kesadaran masyarakat untuk berperan dalam perpolitikan, agar negara tidak menjadi sentral segalanya. Masuknya konsepsi civil society termasuk diprakarsai oleh Mansour Fakih dan Hikam, yang pada tahun 1980an giat mengadakan penerjemahan, penelaahan civil society di negri ini, sebagai perlawanan developmentalisme yang sangat sentralistik yang mengarahkan pada otoritarian pemerintahan.
Pada masa Reformasi sendiri, setelah turunya rezim orde baru, laju pemikiran semakin deras. Hal ini disebabkan “pengkebirian” pada masa sebelumnya kemudian mendapatkan kemerdekaan pada masa ini. Para pemikir dan berbagai macam gagasan semakin garang mempublikasikan wacananya. Semacam euforia, adu gagasan terjadi dalam berbagai macam hal dibawah bendara HAM (Hak Asasi Manusia) dan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dsb. Ke”liar”an perkembangan pemikiran itu, memang terkesan bangsa ini tidak memiliki konsepsi yang jelas. Namun jika dilihat sesungguhnya itulah sebuah dinamisasi sebuah tatanan masyarakat yang beraneka ragam. Diversity yang dimiliki Indonesia memang harus di integrasikan agar menjadi bangsa yang utuh, akan tetapi jangan sampai salah langkah seperti pada rezim orde baru dengan menyamaratakan semuanya. Keragaman pemikiran merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat yang beraneka ragam. Dalam dunia Islam Indonesia dewasa, perkembangan pemikiran masih berjalan dengan berbagai macam dinamikanya. Pemikir-pemikir Islam yang memiliki loncatan pemikiran kemudian mendapatkan tanggapan keras oleh kaum Islam yang memiliki pandangan kuat pada teks-teks. Fenonena ini kemudian secara umum dibaca dengan pegolakan pemikiran antara kaum liberalis-sekuler dengan fundementalis-radikal. Jika kembali pada pandangan Toynbee, hal tersebut memanglah sebuah keniscayaan dalam sebuah perkembangan peradaban, bahkan merupakan dinamisasi peradaban justru seharusnya terdapat fenomena challenge and response untuk menciptakan perdaban baru, untuk menghasilkan konsepsi lain, untuk menciptakan sintesis-sintesis lain, misal sepeti modernisme, posmodernisme, kosmopolitanisme dengan berbagai konsepsinya.
Ahmad Syafii Maarif (2010) sendiri dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Muhammadiyah dan masa depan intelektualisme islam di Indonesia” memberikan penekanan bahwa jika sebuah bangsa akan mengembangkan tradisi keintelektualannya, maka penerimaan terhadap perbedaan merupakan modal yang penting. Bahwa perkembangan arus pemikiran kemudian akan mengarahkan pada berbagai macam perbedaan. Dalam menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut sudah seharusnyalah terjadi adu argumen, dan dialektika tersebut akan mengarahkan pada perkembangan pemikiran di bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H