Mohon tunggu...
Irfa Fahd Rizal
Irfa Fahd Rizal Mohon Tunggu... -

Seorang manusia bisa yang sedang belajar,serta akan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahaya Subjektivitas Manusia

11 Maret 2010   07:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam mempelajari dan melaksanakan segala sesuatu di dunia ini ternyata kuncinya hanya satu. Hal yang menarik adalah hal itu telah disampaikan oleh nabi kita Muhammad SAW. Peristiwa ini memberikan kejelasan bahwa sesuatu yang di ucapkan oleh nabi tidak sekedar omongan belaka, namun tetlah mengandung unsur pengtahuan tuhan berdasar wahyu yang telah ia terima.

Adapun Sabda beliau adalah "Khoirul umuri, ausatuha". Merupakan hadist yang tidak panjang dan sepintas merupakan hal yang ringan. Namun mari kita telaan lebih jauh.

Arti hadist tersebut adalah sebaik baik perkara adalah tengah-tengahnya, tentu semua orang telah memahami kata-kata tersebut, atau lebih jauh dari itu sebagian besar orang sepakat atas pernyataan tersebut. Bagi manusia sendiri telah memahami adanya kata-kata extrim, terlalu, sangat, yang kemudian mengarah pada konotasi yang negative.

Ibadah

Misalnya saja seorang muslim yang terlalu bersemangat dalam menagmalkan ibadah, ataupun memcoba memasukkan berbagai hal pada nilai-nilai yang islami, tidak sedikit kemudian menimbulkan bid'ah-bid'ah yang dibenarkan, oleh karena penambahan-penambahan ibadah yang tujuan awalnya mengamalkan nilai-nilai keislaman namun kebablasan dan menagrah pada iabadah yang tidak ada tuntunannya sama sekali.

Sedangkan extrimis lain, mencoba menghilangkan hal-hal yang baru yang tanpa tuntunannya. Dengan dalih menumpas bid'ah-bid'ah dalam agama islam, juga menatas namakan gerakan yang akan mengembalikan islam yang murni. Juga menimbulkan sikap yang extrim, dengan melarang upacara a, melarang budaya b, melarang tindakan ini dan itu, ketika tidak mempedulikan nilai-nilai kebudayaan yang bermanfaat jika dilestarikan, atupun juga tidakbisanya memahami pesan implisit yang terkandung di dalamnya akan menimbulkan pendangkalan agama. Hal ini sangat ironis, ketika segolangan muslim dengan tujuan sucinya "mengembalikan ajaran islam yang murni" malah kemudian mengarahkan pada pendangkalan agama oleh karena semagat yang berlebihan dengan tanpa di dasari oleh pengkajian yang mendalam terhadap suatu perkara.

Mu'amalah

Waktu yang digunakan manusia dalam bermu'amalah dalam keseharian tentu juga memberikan permasalahan tersendiri dalam hal ini.  Misalnya saja dalam perkara perdagangan, seorang pemegang teguh kapitalisme akan mempertahankan untuk memndapatkan laba yang sebsar-besarnya, yang kemudian membarikan dampak bagi kesejahteraan kariyawannya, oleh karena mendapatkan pendapatan yang minim.

Pada pihak lain ada yang berprinsip tidak mengambil keuntungan yang besar, dengan dalih yang penting untung. Alhasil pengusaha ini tidak mampu berkembang bahkan acapkali tidak mampu untuk mempertahankan usahanya, yang seharusnya pengengmbangan usaha dapat mengayomi orang yang lebih banyak.

AUSATUHA

Pada contoh kasus tentang ibadah dan mu'amalah di atas tidak bisa dengan mudah dipersalahkan daiantara kedua belah pihak. Selalu munculnya golongan dari kedua belah pihak tersebut pastilah telah mempunyai alasan sebelumnya, bahkan wujud munculnya aksi dan suara dari pihak-pihak tersebut menunjukkan keyakinan mereka pada prinsipnya masing-masing, yang tentu saja berdasar pendapat masing-masing.

Ironisnya tidak sedikit yang mengetahui "Khoirul umuri, ausatuha" dan kemudian merasa telah melaksanakan yang terbenar dari yang paling benar.

Hal tersebut menjadi semakin jelas bahwa penyelesaian sebuah perkara memang yang paling baik adalah untuk tidak extrim pada pihak manapun, namun ada terdapat hal yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menilai dan mengamalkan tindakan yang tidak extrim. Dimana pada sustu pihak, nilai 90 dirasakan sebagai nilai yang terlalu tinggi dan dipihak lain, nilai 130 dianggap telalu rendah. Oleh karena itu dalam menilai dan mempersepsi segala sesuatu dikaji secara kompleks dan tidak parsial-parsial. Hal-hal yang dapat menghindarkan dari pendapat subjektivitas adalah mencoba memahami sudut pandang lain. Sehingga dengan hal tersebut akan terlihat titik potong perbedaan, setelah sebelumnya benar-benar memperhatikan hal-hal berikut ini;


  • Ilmu pengetahuan interdisipliner
  • Pemahaan suatu permaslahan dengan kompleksitas hal-hal yang berhubungan
  • Kecermatan dalam mengetahui hubungan
  • Kepekaan dalam memahami hal-hal yang implicit dari pada sekedar yang eksplisit
  • Pada taraf tertentu harus jelas batasanya, seperti pada hukum-hukum agama yang tidak bisa ditawar (tentu dalam memahaminya dibutuhkan semua hal diatas)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun