Mohon tunggu...
Irenius Selsus Rengat
Irenius Selsus Rengat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anonim

Penulis jalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Surat Saku

23 Juli 2024   13:06 Diperbarui: 23 Juli 2024   13:14 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah yang berada di kaki gunung di sebelah timur kota itu, banyak menyimpan cerita. Cat dari temboknya yang kecokelatan, tamannya yang ditumbuhi banyak bunga membuat hati bak di taman firdaus, lapangan upacara yang hijau dihiasi rumput-rumput kecil meski ada beberapa tanah yang tidak ditumbuhi rumput tetap memberi warna tersendiri. Sebenarnya sekolah ini juga tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya, hanya saja sekolah ini terlihat tradisional karena berada di tengah kampung. Kekhasan inilah yang membuat setiap alumni bangga mempunyai sekolah di tengah kampung ini, memang terlihat sederhana dan tradisional, tapi pendidikannya lebih diunggulkan dibandingkan dengan sekolah yang berada di tengah kota mewah dan besar.

Tidak hanya itu, sekolah ini juga menjadi saksi bisu ketika Ardi menerima sepucuk surat dari seseorang yang sudah ia kenal sebelumnya. Seperti biasa, sebelum bel sekolah berbunyi sekitar pukul 6.45 WIB, ia selalu datang lebih awal untuk bisa menikmati suasana pagi di sekolah. Ia menerima surat itu dari teman angkatannya. Ia bertanya darimana surat ini, tapi temannya itu langsung meninggalkan dia dengan pesan silahkan baca sendiri isinya. Dia sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk menerima surat, yang ia pikirkan adalah ia harus berjumpa dengan guru fisika yang selalu membuatnya pusing di kelas, dengan segala rumus dan penjelasannya yang proses dan ujungnya tidak pernah usai. Hari itu pun menjadi hari permulaan bagi Ardi untuk semakin mengenal dekat seseorang yang namanya tertulis di surat itu.

Hari demi hari pun berlalu, Ardi juga sudah membaca isi surat itu yang membuatnya tidak tau harus berbuat apa untuk membalas surat ini. Awalnya dia tidak mau membalas surat itu, tapi karena hatinya seakan terusik karena isinya suratnya itu, akhirnya dia membalas surat itu supaya hatinya menjadi tenang dan pada malam harinya ia dapat tidur nyenyak. Masakan ia pusing memikirkan rumus di kelas, ditambah lagi isi surat yang membuat ia heran, lebih baik dia membalas dan menuliskan isi surat itu sesuai dengan isi hati dan pikirannya.

Sejak surat yang Ardi tulis itu dan mengirimkanya kepada seseorang yang menuliskan surat untuknya juga, akhirnya mereka pun saling mengirim dan menerima surat, apa isinya, tidak ada yang tau, yang tau hanya Ardi dan perempuan itu. Intinya bahwa hubungan Ardi dengan perempuan itu semakin dekat. Surat itu menjadi perantara bagi mereka untuk berbagi perasaan satu sama lain.

Tapi, naasnya hubungan mereka tidak berjalan dengan bahagia layaknya film sinetron, tapi berhenti dengan kelabu dan hujan di tengah jalan. Karena surat terakhir yang diterima Ardi dari perempuan itu membuat dia harus memendam dalam-dalam rasa yang selama ini mereka jalani. Jalan untuk mengapai bahagia itu pun harus berakhir dari surat terakhir yang ia terima itu, padahal itu adalah masa dimana bunga mulai tumbuh dan mekar dengan segala keindahannya. Tapi, surat terakhir itu justru mengatakan yang sebaliknya. Pergi tanpa ada penjelasan, hilang tanpa ada kabar yang jelas, itu yang membuat Ardi bingung dan heran. Apa yang membuat bunga yang sudah kita sirami bersama ini, kini dicabut bahkan dibakar tanpa alasan. Mereka tetap saling melihat dan berpapasan ketika berjumpa di sekolah, tapi dengan perasaan yang berbeda. Inilah yang menjadi pertanyaan bagi Ardi, selama ia bersekolah bahkan sampai tamat dari sekolah itu.

Surat-surat itulah yang menjadi kenangan dan bukti bahwa Ardi dan perempuan itu pernah saling mencintai bahkan cinta yang tidak pernah ia rasakan dari siapapun.  Meski hanya sepucuk surat yang ditulis dengan tinta hitam dan biru, tapi ketika dia membacanya rasanya bak di taman desa yang bunganya indah dan tak akan pernah layu. Dengan surat dia menerima kabar bahagia, dan dengan surat pula dia mengakhiri kisah mereka dengan pahit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun