Suku Rongga dalam sejarah Manggarai hampir tak pernah diperbincangkan. Bahkan banyak buku-buku sejarah tentang Manggarai menyamakan begitu saja wilayah kedaulatan suku ini dengan kerajaan Tanah Dena. Meski luput dari perhatian dan publikasi yang luas, ternyata hal itu tidak menenggelamkan begitu saja antusiasme orang Rongga dalam mengungkapkan jati diri, baik dari sisi sejarah, orisinalitas kebudayaan maupun kesenian, serta kedaulatan wilayanya di masa lalu.
Sejauh ini belum ada penelitian serius tentang sejarah dan asal usul orang Rongga di wilayah Manggarai Timur, Flores, NTT. Suku yang mendiami wilayah Selatan Manggarai Timur ini, di samping unik dari sisi bahasa, juga memiliki sejarah kebesaran peradabannya tersendiri. Wilayahnya tidak saja mencakup Kisol dan Waelengga, tetapi meliputi sebagian dari luas kecamatan Kota Komba dan kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian Barat berbatasan dengan Wae Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu, Suku Manus, dan Suku Gunung.
Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur,daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta mereta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad ke-12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga dibawa pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat, Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng, Manggarai Tengah.
Suku Keo yang mendiami wilayah Melo kemudian mengadakan kontak dengan suku Todo dan mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya sehingga dengan mudah pula Todo menamakan wilayah ini dengan nama Kerjaan Adak Tanah Dena. Padahal secara de facto Keo hanya sekadar numpang tinggal di wilayah itu. Nafsu ekspansi Todo serta ulah orang Keo yang tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai menyebabkan Todo mengusir suku ini. Serangngan Todo terhadap Keo di wilayah Melo membuat suku ini terdesak.
Ekspansi Todo sekitar abad 18 itu, tak akan berjalan lancar bila saja tidak didukung suku Rongga yang sudah begitu anti pati pada Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan Toda dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula Todo memberi gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bah). Setelah ikatan kekerabatan mulai terjalin akrab, Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi itu berjalan mulus.
Upaya Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan suku Rongga, yang sudah memahami karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukkan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga NaiPati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.
Upaya Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok, dll. Hampir seratus tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya.
Salah satu yang masih bertahan hingga saat ini adalah tarian Vera. Tarian ini adalah warisan yang tidak kita temukan dalam kebudayaan Manggarai maupun Flores umumnya. Gerakannya yang khas serta pertunjukkannya yang hanya berlangsung secara aksidental membuat generasi masa kini tidak banyak lagi yang berupaya menekuninya. Serbuan berbagai budaya populer membuat tradisi Vera kian memudar di kalangan generasi muda Rongga.
Kehilangan beberapa simbol budaya Rongga tentu juga dilatari kebijakan pemerintah daerah Manggarai selama beberapa decade yang terkesan menyeragamkan begitu saja kearifan dan keunikan budaya lokal yang berada di wilayahnya ke dalam satu budaya bernama Manggarai. Pengalaman sejarah ini bagi orang Rongga adalah suatu yang cukup pahit untuk dikenang. Apalagi saat itu, Gereja yang nota bene mendapat tanah gratis untuk mendirikan Seminari di Kisol tak memiliki perhatian apapun untuk perkembangan kebudayaan budaya Rongga. Wajar saja bila masyarakat Rongga menjadi terbelakang bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Manggarai Timur.
Terpinggirnya kebudayaan Rongga menjadi kian parah karena ketiadaan kamu terdidik dari kalangan Rongga yang mencapai bangku pendidikan tinggi. Bayangkan saja pada tahun 70-an hanya ada satu orang Rongga yang berhasil menyandang gelar Sarjana. Tahun 80-an hanya berkisar sekitar lima hingga sepuluh orang sarjana. Perode 90-an hingga kini mulai bermunculan Sarjana-Sarjana orang Rongga.
Seiring dengan kebangkitan pendidikan di kalangan orang Rongga, ada sebuah kegelisahan yang terus mengusik sejumlah kaum terdidik Rongga untuk mengungkapkan identitas sejarah dan kebudayaannya. Kegelisahan itu mendorong saya secara pribadi untuk mengadakan penelitian kecil mengenai sejarah, budaya dan kesenian Rongga. Penelitian awal saya lebih mempertanyakan asal usul dan sejarah Rongga, selanjutnya perbedaan budaya dan kesenian yang ada antara orang Rongga dengan Manggarai maupun Ngada.
Banyak temuan yang cukup mencengangkan, di antaranya tentang peradaban Rongga yang tersisa sejak zaman batu, situs-situs peninggalan perang, maupun filsafatnya yang cukup kokoh sebagai pegangan hidup orang Rongga zaman dulu. Saya begitu kagum dengan peradaban suku yang satu ini. Penelitian kecil ini memang jauh dari proyek dokumentasi budaya yang ideal karena tak akan ditemukan pemamparan mengenai temuan arkelogis dan temuan-temuan lain nya. Namun saya yakin proyek kecil ini akan menjadi pembuka dialog sekaligus pancingan bagi atropog untuk menelusuri jejak kebudayan Rongga. Untuk melengkapi bahan peneleitian ini, saya menggunakan beberapa literatur, seperti Nusa Nipah, Sareng Orinbao (Piet Pettu), Manggarai Mencari Era Pencerahan Historiografi karya Almarhum Daminus Dandu Toda. Semoga upaya ini dapat membuahkan hasil yang maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H