Kekeliruan Terkait Restu Amerika untuk Capres Republik Indonesia
Oleh: Ireng Maulana*
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca berita pada halaman berita online menyebut salah satu Capres tidak mendapat restu dari Amerika serikat. Berita ini terkait pemberitaan The New York Times pada Jumat (28/3) yang menyebutkan pada dasarnya Amerika Serikat sangat keberatan apabila Prabowo Subianto menjadi presiden Indonesia. Kemudian, The New York Times juga menulis bahwa pencalonan Prabowo itu bisa membuat sulit AS terutama pemerintahan Barack Obama.
Supaya publik tidak salah menilai, sehingga saya terkesan seperti membela Prabowo Subianto, argumentasi saya sebenarnya untuk mendebat kekeliruan terkait restu Amerika. Siapapun capres yang terkena imbas kekeliruan ini, respon saya akan tetap sama dan berpendirian bahwa restu Amerika adalah keliru. Campur tangan Amerika serikat pada Pemilu kita tidak pada tempatnya.
Restu Amerika serikat kepada Capres Republik Indonesia sama sekali tidak mendasar, karena pertama mengutip pernyataan Capres dari konvensi Partai demokrat- Dino Patti Djalal (Yahoo News, 30/3/2014) “Restu AS tidak perlu sama sekali dan itu adalah mitos yang ada pada masyarakat Indonesia," "Pemerintah AS hanya ingin memastikan bahwa demokrasi terutama pelaksanaan pemilu berjalan aman dan bebas,". Kemudian yang kedua, kajian yang mempelajari demokrasi belum mengenal istilah “Restu”. Ketiga, Prabowo belum tentu menjadi pemenang pemilihan presiden 2014. Walaupun menjadi presiden terpilih, prabowo tentu saja bertindak berdasarkan konstitusi dan perundangan dalam mengemban tanggungjawab sebagai kepala Negara. Demikian pula sikap presiden Indonesia terpilih lainnya selain Prabowo. Ia tidak mungkin membabi buta menghajar kepentingan Amerika serikat di Indonesia karena seorang Presiden adalah aktor yang rasional. Presiden Indonesia diyakini memahami bahwa dunia global tidak menghendaki ketentraman suatu Negara berdasarkan huru-hara di Negara lain. Demokrasi yang Indonesia pilih juga menganut sistem pembagian kekuasaan sehingga banyak orang yang akan mengingatkan Prabowo terkait langkah-langkah yang akan Ia ambil dalam menjalankan pemerintahan, terutama para anggota parlemen yang berada di Senayan. Indonesia Negara demokrasi, demikian pula Amerika Serikat. Teorinya, sesama Negara demokrasi selalu saling mendukung dalam menyebarluaskan satu gagasan tentang kebebasan dan keadilan. Statemen yang menggiring opini publik bahwa sepertinya Amerika Serikat tidak senang kepada salah satu Capres yang dimiliki bangsa Indonesia sama saja mencederai ide dan teori tentang kebebasan dan keadilan itu sendiri. Padahal, majunya Prabowo untuk menjadi Capres pada Pilpres 2014 legal, mengikuti konstitusi dan tunduk pada peraturan perundangan penyelenggaraan Pemilu. Seolah-olah Amerika serikat tidak percaya kepada kebebasan Rakyat untuk menentukan pilihan mereka, padahal suara rakyat adalah cita-cita tertinggi demokrasi. Amerika pun pasti yakin dengan kekuatan suara Rakyat. Kalaupun Prabowo tidak cukup menyenangkan bagi Amerika, biarkan publik domestik Indonesia yang menghukumnya pada pemilihan. Porsi masyrakat Internasional cukup mengamati bahwa Pilpres di Indonesia berjalan secara demokratis. Selama prosesnya memenuhi gagasan berdemokrasi, tidak ada alasan untuk menghambat hak seseorang untuk di pilih di Negaranya sendiri.
Indonesia Negara berdaulat sehingga jatuh bangun Negara kita berdemokrasi seharusnya ditentukan sendiri. Sebagaimana teori klasik oleh realist terkait politik internasional yang anarki. Sepak terjang Amerika dapat di pahami dalam perspektif hendak menjaga dan mempertahankan kepentingannya. Namun, penetrasi gagasan mengenai cara berdemokrasi tidak dapat seragam dan satu standar mengikuti model mereka. Termasuk pilihan-pilihan terhadap calon pemimpin mesti berasal dari hasil seleksi yang demokratis dan bukan atas dasar rasa tidak senang pihak asing. Biarlah suara Rakyat yang membuat pilihan. Siapa pun yang terpilih nantinya adalah produk dari ritual demokrasi lima tahunan bangsa Indonesia. Pahit dan manis akan kita tanggung.
Saya tidak dapat membayangkan reaksi keras yang akan diperlihatkan oleh pemerintah Amerika serikat jika ada satu atau lebih Negara yang menyatakan keberatan mereka terhadap kandidat pada pemilihan presiden negaranya. Misalkan, negara-negara Islam di penjuru dunia menyatakan menolak Barack Obama maju pada pilpres Amerika 2012 sebagai petahana dari partai Demokrat karena pemerintahannya pada periode pertama pernah melakukan operasi kirim Drone (pesawat tempur canggih tanpa awak) ke beberapa Negara Islam untuk berburu teroris dan dalam aksi itu tidak hanya menewaskan orang yang mereka buru tapi juga diduga melukai bahkan membunuh masyarakat sipil yang berada di radius operasi. Bayangan saya, pemerintah Amerika serikat akan membalas dan menjawab penolakan negara-negara Islam itu dengan Sanksi keras atau pembekuan kerjasama. Alih-alih, Amerika serikat bisa mencari alasan untuk berperang dan menyerang negara-negara tersebut.
Perdana menteri Tiongkok dan Raja Arab Saudi bukanlah produk pemimpin yang berasal dari demokrasi citak-cita Amerika Serikat. Kenyataannya, Amerika serikat dapat berkompromi, berdamai bahkan bekerjasama baik dengan sistem politik yang sama sekali bertolak belakang dengan ideologi demokrasinya seperi Arab Saudi yang monarki atau Partai tunggal model Tiongkok. Sebaliknya, banyak riset politik internasional yang menyimpulkan bahwa sesama Negara demokrasi sangat mudah bekerjasama dan saling mendukung upaya menguatkan proses demokrasi. Oleh karena itu, sepertinya tidak ada persoalan yang terlalu besar bagi Amerika di Negara demokrasi seperti Indonesia menyangkut seseorang yang baru akan menjadi capres dan belum tentu menjadi presiden.
Seharunya bukan seorang kandidat yang harus di risaukan, tetapi menurunnya jumlah pemilih yang bersedia untuk memberikan suaranya pada Pilpres 2014 nanti. Sebagaimana ancaman ini terjadi di Indonesia, Amerika Serikat juga menghadapi situasi yang sama seriusnya. Apatisme pemilih lebih layak di khawatirkan daripada menyenangkan pihak luar. Rendahnya partisipasi masyarakat pada saat pemilihan akan berimbas pada lemahnya legitimasi kekuasaan seorang pemimpin. Karena legitimasi rakyat adalah restu yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H