Mohon tunggu...
Irene Sugiharto
Irene Sugiharto Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan / Trainer

Konsultan dalam bidang pengembangan kepribadian. Trainer in personality development.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Panggung Kehidupan: Kisah tentang Social Desirability

31 Juli 2024   11:15 Diperbarui: 31 Juli 2024   13:52 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sore itu, saya berdiri di depan cermin, memaksakan senyum yang terasa berat di wajah. Hari ini ada acara sosial yang sudah lama saya plotkan dalam agenda, tapi entah mengapa, mood untuk bersosialisasi sedang berada di titik terendah. Ironis memang, mengingat dari berbagai asesmen yang pernah saya jalani, saya tergolong orang yang cukup sociable. Seharusnya, sifat ini sudah menjadi semacam autopilot dalam diri saya. Tapi nyatanya, tidak selalu demikian.

Peristiwa ini membuat saya termenung, mengingat kembali tentang konsep yang sering saya ajarkan dalam berbagai sesi pelatihan: Social Desirability. Sebuah konsep yang jarang dibicarakan, namun sering sekali dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Social Desirability adalah motivasi individu untuk mendapatkan pandangan positif dari orang lain. Karenanya, seseorang akan menampilkan perilaku-perilaku yang diharapkan dalam konteks tertentu. Mungkin terdengar seperti sandiwara, tapi mari kita selami lebih dalam: apakah kita sungguh-sungguh sadar ketika melakukan hal ini?

Konsep ini berkaitan erat dengan teori Impression Management, yang menekankan pentingnya kesan pertama dalam interaksi sosial. Tidak heran jika ada pepatah yang mengatakan "first impression counts". Dalam sesi-sesi pelatihan Public Speaking yang saya bawakan, saya selalu menekankan betapa kritisnya beberapa detik pertama saat kita mulai berbicara di depan umum. Bahkan dalam interaksi sehari-hari, detik-detik awal pertemuan adalah saat di mana lawan bicara kita mulai membentuk penilaian tentang kita.

Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah kita memiliki kepekaan atau keluwesan dalam hal ini? Salah satu cara adalah melalui alat ukur seperti Lumina Spark, yang membagi kepribadian menjadi 24 kualitas berbeda. Kualitas seperti 'flexible' atau 'sociable' dapat memperlihatkan kecenderungan seseorang dalam berinteraksi secara efektif.

Tentu saja, di balik setiap perilaku ada motivasi, dan ini kembali kepada suara hati masing-masing individu. Kadang, mood kita memang menentukan perilaku kita, dan inilah konteks sehari-hari dari Social Desirability. Misalnya, ketika ditanya "Seringkah Anda berolahraga?" di hadapan banyak orang, kita mungkin menjawab "Lumayan sering," padahal kenyataannya jarang. Atau ketika ditanya tentang menu di sebuah restoran, kita menjawab "Sangat enak," meski sebenarnya biasa saja.

Pada akhirnya, Social Desirability adalah bagian dari kehidupan sosial kita. Kadang kita perlu menampilkannya demi menjaga stabilitas dan kesantunan dalam interaksi. Itulah yang terjadi, yang tidak selalu kita sadari sebagai makhluk sosial.

Kembali ke cermin, saya menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Kali ini, senyum itu terasa lebih ringan. Mungkin inilah yang disebut keseimbangan - antara menjadi diri sendiri dan memenuhi ekspektasi sosial. Dengan pemahaman ini, saya melangkah keluar, siap menghadapi gathering sosial yang menanti. Karena pada akhirnya, kita semua adalah aktor dalam panggung kehidupan sosial, dan Social Desirability adalah salah satu naskah yang kita perankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun