Gen Z acapkali menjadi sorotan pembahasan dari sisi apapun, bila terkait masa depan. Saya tergelitik untuk mengulas sedikit tentang mereka, karena ternyata banyak juga para Zers disekitar saya.
Duduk berjam-jam bersama salah satu Gen Z yang cukup akrab dengan saya, membahas tentang beberapa hal yang sedang ia alami, saya menemukan ia tergolong analitis. Entah karena pengaruh shio, zodiak atau upbringing_z, ternyata sosok ini juga _observant. Dia lihat dan menilai banyak hal, walaupun pada akhirnya disimpan saja semua dalam hati.
Contoh kasus, saat memilih jurusan untuk kuliah kelak. Kebimbangannya untuk memilih jurusan yang menjadi passion dan jurusan yang menjadi preferensi orang tua dapat membuatnya galau hingga bertahun-tahun. Pada akhirnya memang pertimbangannya jatuh pada 2 atau 3 pilihan, namun untuk mengemukakan pendapat dan keinginan pun seperti berlapis-lapis. Padahal jika sedang bicara empat mata dengan saya, ia sanggup melontarkan segala angle analisa; kadang sampai saya bertanya-tanya, sesungguhnya ia butuh fasilitator atau butuh mediator.
Belum lagi bicara soal dunia asmara. Asmara dan friendship sepertinya beda-beda tipis. Bertemu secara online pun sudah cukup. Keterbukaan mereka terhadap beberapa persoalan, seperti juga memilih siapa yang mereka rasa nyaman untuk bertukar pikiran, tak jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.Â
Trust & sincerity lah mungkin dua hal penting yang dicari. Karena soal openness, generasi merekalah yang mendapat kesempatan akan keterbukaan yang luas karena teknologi digital yang berkembang pesat saat mereka tumbuh.
Older Gen Zers yang mungkin sudah dalam late 20s, juga mencari teman bicara, teman bertukar informasi pun, secara online dengan berbagai platform apps online yang jaman sekarang banyak tersedia. Jaman saya dulu studi, acara-acara seperti_ blind date_ dan hal-hal serupa di televisi sudah banyak.Â
Bahkan saya ingat itu menjadi salah satu program favorit yang saya selalu tunggu-tunggu. Saat itu, mungkin sekitar 24 tahun silam, dengan studi Psikologi yang sedang saya dalami, saya merasa takjub akan keberanian mereka untuk mau go on a blind date di stasiun TV nasional. Apa yang melandasi keberanian yang luar biasa itu?Â
Dulu cara komunikasi belum semudah saat ini, tak terbayangkan jika dunia sosial media sudah ramai seperti sekarang, pasti semua pasangan akan diulas tuntas oleh netizen. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, ternyata acara-acara seperti blind date masih banyak di televisi dan sekarang berbentuk pay TV. Sepertinya itu memang cara mudah untuk meraih ketenaran dan pendapatan.
Kembali lagi soal asmara kaum Gen Z, dating apps memang menjadi salah satu pilihan bahkan untuk mencari pasangan hidup. Saya menemukan banyak kasus dimana memang hal tersebut aman dan ya memang itulah arti kebahagiaan untuk yang memahami. Saya pun melihat hal serupa pada sosok yang dekat saya saat itu. Walaupun ia bertemu langsung namun komunikasi pun tidak perlu ngoyo untuk harus bertatap muka. Media digital & gadget menjadi solusi. Berbeda dengan jaman saya dulu, saat harus melewati long distance relationship. Jauh ya terasa jauh. Tantangan dan keindahan jaman memang memiliki lagu, irama dan emosi yang berbeda.
Artikel dari The Economist awal tahun 2019 mengatakan bahwa saat pandemi melanda dunia, Gen Z adalah generasi yang paling mengalami tingkat stress, depresi dan obsesi untuk berhasil secara akademis dengan level yang cukup memprihatinkan.Â
Ini sangat berkorelasi dengan studi yang dipaparkan oleh Gallup dalam artikel baru-baru ini, bersama dengan Walton Family Foundation Voices of Gen Z study; dari sample sekitar lebih dari 2,200 responden usia antara 12 hingga 26 tahun (Nov 2023), seperempatnya merasa tidak bahagia dan bahwa hidup mereka terasa kurang berarti. Mereka juga merasa lebih anxious dan dalam kondisi depresi. Hanya sekitar 25% yang mengatakan mereka happy.