Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira sp. melalui urin. Tubuh dapat tertular bakteri dengan mudah melalui luka kulit terbuka atau selaput lendir pada tubuh yang melakukan kontak dengan genangan air sungai atau selokan dan banjir. Unit Pelayanan Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan memaparkan gejala yang dirasakan bagi penderita Leptospirosis adalah demam mendadak, tubuh merasa lemah, mata merah, kekuningan pada kulit, sakit kepala, dan nyeri otot betis. Penyakit ini dapat disebabkan secara demografis dan geografis. Dr. Cahya Purnama melalui sorot sleman mengungkapkan bahwa baru-baru ini telah ditemukan 8 kasus Leptospirosis, sebanyak 3 sebagai suspek, dan 1 meninggal dunia. Kasus Leptospirosis ditemukan pada bulan Januari dengan 2 kasus, bulan Februari 4 kasus, dan bulan Maret 2 kasus dengan menyebar di beberapa kapanewon, seperti Gamping, Tempel, dan Pakem masing-masing 1 kasus, 3 pasien suspek di Moyudan dengan 2 kasus dan Seyegan 1 kasus, serta Cangkringan dan Prambanan masing-masing 2 kasus dengan 1 kasus meninggal dunia di Prambanan pada bulan Februari. Penyakit Leptospirosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui faktor lingkungan.
Faktor Resiko
Penyakit Leptospirosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor agent penyebab penyakit Leptospirosis, faktor host seperti jenis pekerjaan, jenis kelamin, umur dan perilaku seseorang, serta faktor lingkungan seperti lingkungan biotik, abiotik, dan sosial. Kondisi lingkungan yang terbatas sejalan dengan urbanisasi dan pertumbuhan populasi yang menyebabkan penyebaran penyakit Leptospirosis semakin cepat. Penularan Leptospirosis melalui kontak manusia dengan air yang terkontaminasi urin tikus atau hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira sp. dan dimudahkan dengan adanya luka terbuka atau selaput lendir yang melakukan kontak dengan air sungai atau selokan dan banjir dapat menyebabkan manusia terkena Leptospirosis.
Leptospirosis banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki yang dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan aktivitas lapangan lebih sering daripada wanita dan sering terjadi pada kelompok umur 40-59 tahun. Salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan kasus Leptospirosis adalah pekerjaan sebagai petani. Hal ini disebabkan karena kurangnya memakai alat pelindung diri (APD) saat bekerja sehingga berpotensi terkena urin tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira sp. Kurangnya alat diagnosis Leptospirosis dan sulitnya mendiagnosis menyebabkan banyak kasus Leptospirosis yang tidak terdata. Hal ini didukung dengan tingginya populasi tikus serta sanitasi lingkungan yang buruk merupakan menyebabkan dengan cepat menyebarnya penyakit Leptospirosis.Â
Pengendalian Leptospirosis
Dengan demikian diperlukan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah dan mengendalikan penyakit tersebut. Selain dilakukannya penyuluhan dan monitoring kepada masyarakat, diperlukan peningkatan akses layanan kesehatan ditingkat daerah, program pemeriksaan berkala, serta evaluasi dan pengendalian populasi tikus. Selain itu, pemberian anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi para pekerja lapangan, seperti petani, peternak, dan jenis pekerjaan lainnya yang melakukan aktivitas lapangan. Diperlukannya dukungan masyarakat dalam mendukung program pemerintah dalam mencegah serta mengendalikan penyakit Leptospirosis. Hal ini merupakan tantangan bagi masyarakat dan juga pemerintah sehingga diperlukan kerjasama dalam upaya mencegah adanya kasus penyakit Leptospirosis di Kabupaten Sleman.
Sumber:
- https://sleman.sorot.co/berita-4854-leptospirosis-di-sleman-hingga-maret-2024-dilaporkan-8-kasus-dan-1-orang-meninggal-dunia.html
- https://upk.kemkes.go.id/new/mengenal-gejala-dan-pencegahan-leptospirosis
- Muhidin, & Ristiyanto. (2012). Survey Demografi dan Kondisi Lingkungan Rumah di Daerah Kasus Leptospirosis di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta Tahun 2010. Vektora: Jurnal Vektor Dan Reservoir Penyakit, IV(1), 53–60.
- Rakebsa, D., Indriani, C., & Nugroho, W. S. (2018). Epidemiologi Leptospirosis di Yogyakarta dan Bantul. Journal of Community Medicine and Public Health, 34(4), 153–158.
- Zukhruf, I. A., & Sukendra, D. M. (2020). Analisis Spasial Kasus Leptospirosis Berdasar Faktor Epidemiologi dan Faktor Resiko Lingkungan. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 4(4), 587–598.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H