Bapak Artidjo Alkotsar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, mengatakan korupsi ibarat penyakit kanker yang menggerogoti tubuh negara dan membawa Indonesia ke masa depan yang suram (Harian Kompas, 18 September 2014).
Penderita kanker, apabila didiagnosis dini dan diterapi dengan benar, kemungkinan sembuhnya sangat besar.
Pelaku korupsi alias koruptor hendaknya juga dideteksi dini oleh penegak hukum dan diterapi dengan sanksi yang setimpal supaya tidak kambuh alias jera.
Walau penyakit kanker dan korupsi dua-duanya berefek merusak dan mempunyai kemungkinan bisa disembuhkan jika terdeteksi dini, namun orang yang sakit kanker dan orang yang sakit korupsi sangat berbeda. Jadi orangnya yang sangat berbeda.
Bedanya?
Yang sakit kanker begitu mengetahui dirinya terserang kanker, maka dia pasti buru-buru mencari pertolongan supaya penyakitnya bisa segera dibasmi dan berharap dia akan segera sehat kembali.
Orang ini mengalami perjuangan yang berat, moriel dan materiel untuk mengatasi kankernya.
Yang sakit korupsi, begitu menyadari dirinya berpeluang untuk korupsi maka dia akan cepat-cepat mencari jalan untuk meraih kesempatan ini.
Ketika hasil korupsi mulai dinikmatinya, maka dia akan berusaha mencari peluang untuk korupsi yang lebih besar lagi. Dia tidak pernah berusaha sembuh karena makin parah penyakitnya maka makin makmur hidupnya.
Terapinya, hukuman maksimal supaya dia tidak kambuh dan tidak menyebarkan nafsu kejahatan korupsi kepada orang lain.
Dengan demikian, orang-orang akan takut dan menghindar dari perbuatan korupsi sebagaimana orang takut terkena kanker.