Restoran Rindu Alam menurut berita resmi sudah ditutup awal tahun 2020. Benarkah demikian? Kemudian saya dikirimi link artikel Kompas oleh anak saya. Ternyata memang benar. Izin berakhir pada tahun 2020. Menurut Adam Adjie cucu dari pendiri Restoran Rindu Alam, pihaknya sedang mengurus izin. Kalau izin keluar maka Restoran Rindu Alam akan dibuka kembali. Semoga....!
Itulah harapan saya kami sekeluarga dan masyarakat luas yang sudah menjadi pelanggan dari generasi ke generasi dan masing-masing memiliki kenangan. Bukankah Restoran Rindu Alam sudah menjadi Ikon Puncak Bogor?
Amat disayangkan kalau akan dihilangkan begitu saja. Ada begitu banyak lika-liku perjalanan kehidupan dan ikatan emosional dari personil-personil yang terlibat dalam keseharian dari awal dibuka sampai sekarang izin berakhir.
Membaca bahwa Restoran Rindu Alam mulai dibuka pada tahun 1980, saya merasa penasaran. Perasaan saya rasanya sudah lebih dari itu. Hehehe... tapi tentu ini saya yang keliru.
Wisata Puncak adalah tujuan wisata favorit kami sekeluarga. Waktu itu jalanan masih lumayan sepi dan berwisata ke Puncak tidak terlalu menguras tenaga, walau harus pulang hari. Makan siang hampir selalu di Rindu Alam.Â
Di masa itu Restoran belum sebanyak sekarang, lagi pula harganya terjangkau dan masih ditambah pemandangannya yang mempesona. Buat anak-anak sangat menyenangkan karena ada penjual asongan dengan bermacam dagangannya. Ada gemblong, gulali, moci, buah pala, strawberry, mainan-mainan, dan lain-lain. Pokoknya macam-macam deh.Â
Pemandangan dari meja makan Rindu Alam  yang memukau itulah, yang membuat saya sangat ingin memiliki sebuah rumah mungil dengan pemandangan gunung yang asri. Kelak kemudian saya dan suami mulai memburu idaman kami.
Setiap akhir pekan kami pasti ke Puncak. Hampir setiap Minggu kami makan siang di Rindu Alam. Walau Restoran selalu ramai, namun para pramusaji tetap ramah dan kadang memancing sedikit pembicaraan. Jadi suasana terasa akrab, itu juga salah satu daya tarik makan di sana. Walau pesanan tidak banyak, mereka selalu ramah.Â
Sampai sekarang pun saya masih ingat ada yang bernama Maryono. Moga-moga benar ya. Dia membantu mencarikan tanah idaman kami. Kami menjadi akrab, bayangkan setiap Minggu kami makan siang di sana dan itu  berlangsung sekitar setahun. Tapi, akhirnya kami mendapatkan tanah idaman kami dari iklan mini Harian Kompas. Pemandangan okay dan dana kami pun cukup.Â
Jika harapan ini terkabul, hendaknya pihak manajemen melakukan terobosan menyajikan menu-menu baru di samping mempertahankan menu kenangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H