Menulis. Satu kata yang mungkin tidak pernah terbayang dalam benakku, 7 tahun silam.Â
Saat itu, aku hanyalah seorang lulusan SMA biasa yang memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta demi melanjutkan studi Ilmu Komunikasi.
Ketertarikanku di dunia jurnalistik terkhususnya televisi dan broadcasting, membawaku ke salah satu universitas swasta terkemuka di Kota Gudeg.Â
Usut punya usut, aku pun mulai tertarik ke sisi lain dunia jurnalistik. Ya, bukan televisi maupun radio melainkan dunia penulisan yang menjadi daya tarik bagiku.
Pada tahun 2013, aku mulai menulis di berbagai blog gratis, termasuk Kompasiana. Hobiku menulis semakin terasah berkat jurusan kuliahku dan itu pun menular dari teman kuliah yang kerap kali menulis di blog yang sama. Makin ke sini, menulis tak hanya menjadi hobi tersembunyi namun juga menjadi terapi.Â
Setiap kali aku merasa buntu, lelah dan tak tahu harus ke mana dan melakukan apa, aku pun menuangkan ide dan gagasanku dalam bentuk tulisan.
Awalnya, aku begitu kesulitan mencari ide.Â
Namun lama kelamaan, deretan kata-kata itu meluncur sendiri, seakan sebuah kapal yang membelah samudra luas penuh ikan raksasa pada senja hari.
Kata demi kata mengalir. Ada rasa kelegaan di saat aku membaca sembari mengedit setiap kata dan huruf yang telah tertuang itu.Â
Sungguh, menulis menjadi obat paling manjur bagiku. Seakan, ketika dunia menolak untuk mengerti dirimu, maka ada kanvas kosong yang senantiasa bersedia menerima muntahan ide, emosi dan ceritaku.Â
Ada kertas putih kosong yang tak akan pernah berhenti dan mengatakan, "Udah, udah. Aku nggak mau dengar lagi!"Â
Seketika itu pula setelah aku selesai menulis, masalah yang menerpa dan segala emosi yang berkecamuk dalam hati dan pikiranku, tertuang sempurna meskipun aku tahu bahwa itu takkan menyelesaikan semuanya.