Dari segi latar, Sunyi sebenarnya hanya mengambil setting di sekolah elit dengan dinding serba putih. Namun setting tersebut sudah cukup mewakili keseluruhan isi cerita yang memang terjadi di sekolah. SMA Abdi Bangsa nampak ditata megah, rimbun dengan pepohonan dan taman serta mampu menyajikan aura seram lewat dinding-dinding putihnya.Â
Musik yang bergemuruh pun mampu membuat penonton berdegup kencang, menunggu datangnya jumpscare di sudut-sudut sekolah. Pun sinematografi dan pencahayaan dirancang apik sehingga memberikan kesan horor kepada penonton.Â
Namun dari segi dialog, patut dirasakan bahwa ada beberapa percakapan yang terasa cheesy dan garing. Dialog terasa berjalan lama dan percakapan yang tercipta kurang natural sehingga chemistry pemeran kurang terasa.
Dari segi cerita, Sunyi yang diproduksi juga oleh CJ Entertainment dari Korea Selatan ini berhasil memberikan pesan dan kisah yang berbeda. Ya, melalui filmnya, kita diajak untuk mengetahui bahaya bullying secara fisik maupun verbal. Bullying bukanlah suatu tindakan yang bisa ditoleransi, apalagi jika kejadian tersebut sudah berlangsung terus menerus setiap hari.Â
Tindakan senioritas yang kerap terjadi di negeri kita pun terpampang nyata dalam film ini. Ini menunjukkan bahwa banyak hal yang ada dalam sistem pendidikan kita masih perlu diperbaiki, termasuk senioritas dan orientasi yang kelewatan sehingga menimbulkan kasus bullying terhadap sesama teman maupun junior.Â
Dan pesan terakhir, mungkin adalah tentang rasa sepi yang bisa membunuh kita di mana saja dan persahabatan yang tak lekang oleh dimensi dan waktu. Ya, inilah Sunyi. Kisah horor penuh makna yang sayang untuk dilewatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H