Mohon tunggu...
Irene Aprilya
Irene Aprilya Mohon Tunggu... Administrasi - Alinea baru-

Menjadi mulut untuk yang suaranya tak didengar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbenahlah, Indonesiaku

4 April 2018   11:07 Diperbarui: 4 April 2018   11:10 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Irene Aprilya

"Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku. "

Sepenggal syair ciptaan WR Supratman ini begitu berbekas dalam benak saya. Pada tahun 1945 lagu yang pertama kali dikumandangkan saat  Indonesia menyatakan bahwa dirinya telah merdeka dari penjajahan yang telah dialami bangsa ini  ratusan tahun. Oleh karena itu kemerdekaan Indonesia tidak lahir dengan mudah, banyak peluh darah dan air mata menghantar bangsa ini bersatu tanpa memandang perbedaan.

Indonesia lahir sebagai negara dengan dasar Pancasila bersama masyarakat yang penuh ragam, beragam suku, agama dan ras. Pancasila awalnya dirumuskan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia di segala tempat dan waktu. Berharap kegunaannya tak mati oleh zaman. Pancasila dirumuskan dengan matang untuk seluruh rakyat Indonesia, untuk segala suku, agama ras dan untuk segala golongan. Indonesia adalah salah satu negara dengan suku dan bahasa terbanyak di dunia, juga salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dan salah satu negara maritim terbesar di dunia. Tidak ada alasan untuk tidak bangga pada Indonesia, negara besar yang kaya akan keberagaman dan alamnya. Kemerdekaan kita atas belenggu penjajah yang diraih sendiri oleh bansga ini menunjukkan bahwa ketika bersatu Bangsa Indonesia itu kuat dan tak terkalahkan. Cerita tentang bambu runcing dan bersatunya seluruh suku bangsa melawan penjajah merupakan sejarah yang luar biasa. 17 Agustus 1945 mencelikkan bangsa ini ternyata kita telah lama dijajah karena tidak sadar tentang "kuatnya persatuan atas perbedaan."  Kita merdeka!Bersatu Indonesia Raya! Pekik!

Indonesia, 72 tahun lamanya merdeka, kemajuan pemikiran, peradaban dan budaya kini mengalami ancaman disintegrasi. Banyak masyarakat mengeluhkan kejadian beberapa waktu belakangan ini sepeti masa kolonial, mudah dipecah belah.  Kemerdekaan, jika tidak dijaga maka bisa juga diambil dari kita yaitu paham-paham yang bertentangan dengan NKRI dan Pancasila. Ingat! Kita merdeka karena apa? karena PERSATUAN INDONESIA RAYA" buka bambu runcing. Sayangya, sebagian masyarakat Indonesia masih terpenjara pada pemikiran tertutup tentang hal keberagaman.

Masih banyak kita dapati dimana peperangan yang terjadi antar suku, misalnya perang antar suku di Timika, Papua pada tahun 2016. Atau juga perang antar suku yang terjadi di Lampung yang terjadi tahun 2012. Namun saat ini perang antar suku sudah mulai berkurang. Mari kita melihat kembali yang masih hangat di telinga kita penyerangan akan gereja di Jogja tahun 2018 ini yang membawa-bawa nama agama. Melihat semua hal ini memunculkan pertanyaan baru, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Atau diri kita sendiri yang kembali menjajah keberagaman di Indonesia?

Ada ungkapa Bung Karno, pendiri negara ini. "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Ngeri membayangkan ucapan 72 tahun silam, tapi jika kita melihat akhir-akhir belakangan ini, bisa jadi ini yang ditakutkan beliau. Bangsaku Indonesia seakan menjajah dirinya sendiri. Berita televisi, ramainya komentar jahat di sosial media, terus memusingkan tentang keberagaman dan perbedaan di Indonesia semakin membawa kita melupakan Pancasila. Kita mulai melupakan arti kata "toleransi"

Kawan, harapan selalu ada. Harapan akan keberagaman dan toleransi masih ada dan masih hidup di satu kota kecil di kaki gunung merbabu yaitu Salatiga. Penulis menemukan satu tempat untuk belajar toleransi yang berteman baik dengan keberagaman. Salatiga, menurut Kompas edisi 20 November 2017, merupakan kota paling toleran di Indonesia. Kota kecil ini dihidupi beragam etnis. Kota dengan 30 etnis dari penjuru sabang dan merauke hadir disini untuk hidup berdampingan. Uniknya sebagian besar di inisiasi oleh kampus Kristen yang dikenal Indonesia mini. Universitas Kristen Satya Wacana memiliki 30 komunitas mahasiswa berdasarkan etnis, dan setiap tahunnya selalu merayakan perbedaan dalam ajang Indonesia  Internasional Culture Festival atau IICF. Tak hanya itu, di setiap fakultas juga ada acara serupa, seperti Culture Day Fiskom yang diadakan oleh fakultas ilmu sosial dan ilmu komunikasi. Anak-anak muda dengan berbagai etnis saling belajar dan bertukar budaya.

Saya adalah mahasiswa dari etnis Rote, NTT. Rote merupakan pulau terselatan dari Indonesia. Saya pernah membantu mengurus acara pegelaran budaya di fakultas saya. Disana setiap etnis menarikan tarian dan menyanyikan lagu etnis lain, adanya persilangan budaya dengan harapan saling mengerti budaya orang lain. Sangat indah rasanya melihat orang-orang mau membuka pikiran mereka untuk menerima budaya lain bahkan hingga mempelajari budaya lain. Saya sangat mengagumi Salatiga khususnya universitas dimana saya belajar.Tempat ini kerap kali disebut sebagai Indonesia mini, Di Universitas ini, kamu bisa berdoa dengan agamamu tanpa ada yang menilai buruk. Kamu bisa menari dengan tarianmu dengan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Kamu bisa berjalan dengan santai tampa harus mempedulikan warna kulitmu. Semua orang diterima dan menerima dengan baik satu sama lain. Cerminan yang baik bagi Indonesia, mencontohi tempat kecil ini.

Indonesia juga merupakan negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak di dunia. Dengan banyaknya bahasa daerah ini tentu menjadi kesulitan kita untuk berkominikasi lintas budaya, tapi hal ini tidak bisa kita jadikan alasan untuk terpecah-belah. Seharusnya hal ini menjadi kebanggaan dan kekayaan bagi Indonesia. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia.

Tak jauh dari Salatiga, seorang ibu memiliki anak yang bersekolah di TK yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah berkeluh kesah pada saya bagaimana pergaulan anak-anak kecil di kompleknya. Pernah muncul statement mengejutkan dari mulut anak TK B saat mereka bermain "Aku kan  muslim, Kamu kan cina." Akhirnya si Ibu mulai melarang anaknya untuk bermain karena kuatir akan perlakukan tidak adil. Sangat miris rasanya anak kecil saja bisa menaruh stereotip ke temannya. Jika seperti ini apakah kita dapat membanggakan kebangsaan kita? Apa yang diajarkan orang tua pada anak TK yang berakibat mereka bisa menaruh stereotip? Ini salah siapa?lalu kita mulai saling menyalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun