Mohon tunggu...
Irene Angelin
Irene Angelin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Realisme: Pelanggaran HAM dalam Konflik Israel dan Palestina Berdampak Pada Anak-Anak

30 Mei 2024   08:40 Diperbarui: 30 Mei 2024   08:42 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 1948 saat Negara Israel didirikan terjadilah konflik Israel-Palestina yang menyebabkan warga Palestina terusir dari wilayahnya, kemudian di tahun 1987 pemberontakan pertama terjadi dengan melakukan protes massal dan perlawanan terhadap warga Israel oleh penduduk Palestina, namun, Negara Israel merespon keras dengan melakukan genosida, penutupan tempat belajar seperti universitas, deportasi terhadap para aktivis, dan penghancuran beberapa bangunan termasuk rumah di sana, tahun 2000 pemberontakan kedua dilaksanakan setelah Ariel Sharon seorang Jendral kejam melakukan kunjungan provokatif ke kompleks bangunan Masjid Al-Aqsa, hal ini memicu bentrok antara demonstran Palestina dengan pasukan dari Negara Israel telah memakan korban jiwa lima penduduk Palestina dan sejumlah 200 orang telah terluka selama kurun waktu dua hari, peristiwa ini memicu pemberontakan bersenjata yang semakin meluas dan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap aspek perekonomian dan infrastruktur Negara Palestina. Selain itu, Perang Saudara juga terjadi dengan Negara Israel yang kembali menduduki wilayah terlarang oleh Otoritas Palestina dan mulai membangun tembok pembatas yang menghancurkan pekerjaan dan komunitas warga Palestina, penduduk Yahudi juga mulai menduduki secara ilegal di wilayah tersebut sehingga menyebabkan wilayah bagi penduduk lokal Palestina semakin mengecil dan berkurang. 

Banyak anak-anak di wilayah Tepi Barat Palestina dan Jalur Gaza terus menjadi korban atas perbuatan ilegal warga Israel, anak-anak penduduk Palestina menjadi korban terbanyak atas tindakan kejam Israel dengan mengabaikan hak-hak mereka, sebanyak 500-700 anak di Palestina yang rata-rata masih berusia 12 tahun diculik kemudian ditahan dan diadili secara kejam dalam pengadilan dengan siasat Israel, "pelemparan batu" menjadi tuduhan yang paling terkenal, usia 12 tahun ke atas berhak untuk ditahan atas izin kebijakan hukum militer Israel, di sisi lain "pelemparan batu" dianggap sebagai kesalahan "keamanan" di bawah hukum Israel karena anak-anak Palestina dianggap salah telah melempar batu, tugas negara serta pemerintah setempat mempunyai tugas menjaga keamanan anak dengan memberikan pendidikan yang kayak serta kehidupan yang sejahtera namun, hal ini tidak berlaku bagi para zionis yang secara berturut-turut melakukan kegiatan ilegal yang berakibat bagi anak-anak Palestina sebagai tawanan di penjara. Negara Israel menjadi satu-satunya negara yang membuat serta melaksanakan undang-undang penjara anak-anak Palestina, Bangsa Israel telah memperbudak secara kasar kepada anak-anak di penjara dan tidak memberi akses untuk berinteraksi dengan keluarganya sendiri, Israel juga memegang prinsip kuat untuk menolak merevisi undang-undang kejinya. 

Selain itu, dampak psikologis konflik Israel dan Palestina pada penduduk lokal telah sangat signifikan dan kompleks, beberapa laporan dari dampak psikologisnya seperti; trauma perang akibat paparan terhadap kekerasan fisik, bom, dan peristiwa perang lain sehingga trauma ini berdampak terhadap kualitas jangka panjang pada kesehatan mental, kemudian ada pula kesulitan dalam menghadapi kekhawatiran yang telah membuat penduduk Palestina mengalami kekhawatiran yang sangat berat akan serangan udara dan kematian yang sudah tidak memandang usia hal ini telah menjadi hal yang bersifat sekunder dibandingkan dengan kebutuhan makanan, yang terakhir adanya kesulitan dalam menghadapi penggusuran; tekanan psikologis pada masyarakat telah meningkat seiring adanya pengusiran yang membuat penduduk Palestina mengalami kehilangan tempat tinggal, akses pendidikan yang layak, dan akses kesehatan yang berpengaruh pada aspek perkembangan hidup mereka. 

Dalam teori realisme memandang bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah kepentingan negara yang harus dicapai, teori ini memegang prinsip jika ada pelanggaran hak asasi manusia maka hal tersebut wajib ditegakkan atau dijalankan, teori ini dipercaya bahwa tindakan anarki yang egois berasal dari kondisi sistem dunia internasional sehingga dapat dikatakan skeptis. Konflik ini telah merampas beberapa hak seperti, hak untuk hidup; banyak korban jiwa termasuk anak-anak dan warga biasa Palestina yang tidak bersalah ditangkap secara sewenang-wenang hingga dibunuh secara keji, kemudian hak kebebasan yang mana hal ini telah mengganggu kebebasan penduduk lokal Palestina untuk berpendapat serta kebebasan beragama, ada pula hak keselamatan; anak-anak menjadi korban dari serangan Israel dengan tidak diberikannya akses berinteraksi dengan keluarganya dan tempat tinggal yang aman, hak pendidikan; hilangnya akses tempat belajar yang layak dan stabil di daerah Palestina, hak kesehatan; konflik ini secara tidak langsung telah mengancam kesehatan fisik dan mental anak-anak di Palestina dengan mengalami banyaknya kehilangan fasilitas kesehatan yang layak maka angka kematian anak-anak di Palestina sangat tinggi. 

Teori realisme dalam konteks konflik Israel dan Palestina menjelaskan bahwa sumber konflik berkelanjutan ini berasal dari kepentingan nasional Negara Israel dan Palestina, konflik ini berlanjut disebabkan oleh kepentingan yang berbeda dari kedua belah pihak, Israel memiliki kepentingan nasional yang berbeda dan saling mengklaim wilayah yang akan dijadikan suatu negara namun kedua belah pihak tetap saling berusaha untuk memperluas wilayahnya dan mempertahankan kepentingan nasional mereka sehingga berakibat pada pelanggaran HAM. Dalam analisis realisme klasik; negara dipandang sebagai objek yang egois dan memiliki tujuan dalam hubungan internasional, negara akan bertindak apa saja untuk mencapai kepentingan nasionalnya, termasuk melanggar HAM, jika itu diperlukan untuk mencapai tujuan, kemudian dalam analisis realisme offensive; negara berusaha memperluas kekuasaan dan wilayahnya dengan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi, Israel dalam pandangan ini berusaha memperluas wilayahnya di wilayah timur Israel dan mengarahkan segala kekuatan militer untuk menguasai wilayah Palestina demi terlaksananya tujuan nasional, dan pada analisis realisme defensive; Israel berusaha mempertahankan wilayahnya dan menghadapi ancaman dari Palestina dengan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi.

Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat diambil dalam analisis realisme, pelanggaran HAM dalam konflik Israel-Palestina dapat dijelaskan sebagai hasil dari kepentingan nasional yang berbeda antara Israel dan Palestina. Kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kepentingan nasional mereka dengan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi, yang berakibat pada pelanggaran HAM. Analisis realisme klasik, offensive, dan defensive memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang bagaimana Israel berperilaku dalam konflik ini, tetapi semua pandangan tersebut berfokus pada kepentingan nasional sebagai faktor utama yang mempengaruhi tindakan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun