Mohon tunggu...
Irene MargarethSaragih
Irene MargarethSaragih Mohon Tunggu... Freelancer - Psikolog I/O

Hobi mencoba makanan baru yang menarik, memahami perasaan dan perilaku individu atau kelompok. Selain itu saya suka menulis pengalaman yang berkaitan dengan behavioral cognitive.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengubah Kekerasan Menjadi Kasih Melalui Transformasi Pendidik

22 November 2024   14:10 Diperbarui: 22 November 2024   14:25 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perubahan para pendidik & Sumber: Pribadi 

Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah seharusnya menjadi proses yang mendidik, memotivasi, dan membentuk karakter anak agar tumbuh menjadi individu yang tangguh, kreatif, dan berbudi pekerti luhur. Namun kenyataanya kasus laporan tentang pendidik yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didiknya meningkat ditahun 2024. Lebih mirisnya lagi ternyata tingkat kekerasan yang sebenarnya terjadi lebih banyak dari data yang saat ini dinyatakan meningkat.

Lantas apakah saat ini cukup dengan memberikan hukuman kepada pelaku yang melakukan kekarasan saja atau bisakah dikembangkan sistem support kepada para pendidik (orang yang memberikan pelajaran) agar bisa menurunkan tingkat kekerasan yang terjadi. Sangat penting menurunkan tingkat kekerasan didunia pendidikan karena dengan terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan tidak hanya merugikan peserta didik, namun merugikan pendidik dan lingkungan sosial. Untuk dapat membuat sistem support mari kita ketahui penyebab terjadinya kekerasan oleh pendidik saat ini:

  1. Stres dan tekanan pekerjaan
    Pendidik baik dirumah atau disekolah sama seperti profesi lainnya sering menghadapi tekanan dan stres yang tinggi dalam pekerjaan mereka seperti: beban administrasi, tuntutan kurikulum yang padat atau kurangnya dukungan lingkungan. Stres ini bisa mengarah pada frustrasi yang kadang-kadang berakhir dengan perilaku kekerasan sebagai cara untuk melepaskan emosi atau sebagai bentuk kontrol terhadap situasi.

  2. Kurangnya keterampilan dalam mendidik 
    Tidak semua pendidik memiliki pelatihan yang cukup dalam hal manajemen pendidikan, cara berkomunikasi yang tepat sesuai kemampuan peserta didik atau pengelolaan perilaku anak didik. Kurangnya keterampilan dalam mengelola situasi konflik atau perilaku anak didik yang menantang dapat menyebabkan pendidik merasa kehilangan kendali dan memilih kekerasan sebagai bentuk respons.

  3. Pengalaman negatif pribadi pendidik
    Beberapa pendidik bisa saja pernah mengalami kekerasan atau trauma di masa kecil mereka sendiri yang mempengaruhi cara mereka memperlakukan anak didik. Hal ini dapat menjadi satu diantara beberapa penyebab pendidik tanpa sadar meniru perilaku kekerasan yang mereka alami atau merasa bahwa itu adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan.

  4. Kurangnya pemahaman tentang perkembangan anak
    Pendidik yang tidak memahami tahap perkembangan fisik, emosional, dan psikologis anak mungkin tidak tahu bagaimana cara berinteraksi yang sehat dengan mereka. Ketidakpahaman ini bisa berujung pada reaksi yang kasar atau agresif ketika anak didik tidak bisa memenuhi ekspektasi atau menghadapi kesulitan dalam belajar.

  5. Lingkungan kerja yang tidak mendukung
    Lingkungan kerja yang buruk seperti: kekurangan sumber daya, kurangnya dukungan dari pihak rekan, kerabat, fasilitas, budaya kekerasan atau permisivitas terhadap kekerasan. Hal tersebut dapat memicu perilaku kekerasan dari pendidik, dalam kondisi seperti ini, pendidik merasa kesulitan untuk mengelola emosi saat berinteraksi dengan anak didik secara positif.

  6. Kurangnya keterampilan sosial
    Beberapa pendidik yang kurang memiliki keterampilan sosial seperti berempati untuk berhubungan dengan anak didik, yang menyebabkan mereka lebih mudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah atau menanggapi perilaku anak yang dianggap mengganggu.

  7. Norma sosial dan budaya
    Ada saja budaya atau sistem pendidikan kekerasan terhadap anak masih dianggap sebagai metode yang sah untuk mendidik. Pendapat bahwa “pukulan atau kekerasan fisik adalah cara untuk mendisiplinkan anak” bisa muncul karena norma yang sudah terbentuk di masyarakat atau sekolah.

  8. Perilaku anak didik
    Perilaku anak didik ada yang tidak terkendali atau tidak patuh bisa memicu reaksi negatif dari pendidik. Anak yang mengalami kesulitan belajar, memiliki masalah emosional atau berperilaku disruptif bisa memicu frustrasi pendidik yang berujung pada tindakan kekerasan.

  9. Kekurangan pengawasan dan penegakan aturan
    Kondisi pendidikan yang dilakukan dirumah ada saatnya hanya ada pendidik dan anak didik "one by one", dimana kondisi tersebut memberikan peluang pada pendidik untuk lebih dominan dan bisa khilaf melakukan tindakan kekerasan. Kondisi lainnya pendidikan dimana pendidik mendidik ditempat yang bisa dilihat oleh orang lain namun tetap melakukan tindakan kekerasan karena lingkun tersebut melakukan pembiaran. Intinya kekerasan dapat dilakukan pada kondisi ramai atau sepi.

Opini:

Melalui observasi terhadap fenomena kekerasan yang dilakukan oleh pendidik maka, ada urgensi untuk melakukan perubahan mendidik dengan kekerasan menjadi kasi melalui transformasi pendidik dilingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Transformasi tersebut dilakukan dengan mengambil tindakan pencegahan kekerasan dan tindakan penangan terhadap pendidik sebagai pelaku kekerasan serta peserta didik sebagai korban kekerasan. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan kekerasan dalam lingkungan pendidikan perlu melakukan hal berikut ini: 

1. Profiling (menyertakan setiap pendidik mengikuti psikotes) untuk bisa memahami dirinya dengan lebih baik dan melakukan pengembangan potensi yang mendukung profesi sebagai pendidik. 

2. Pelatihan secara berkala: pendidik perlu mendapatkan akses ke fasilitas pelatihan yang dapat membantu mereka mendalami pemahaman mengenai kekerasan, manajemen keuangan, cara mengajar yang efektif tanpa kekerasan dan menerapkan kedisiplinan tanpa kekerasan. serta memberikan pemahaman tentang peraturan dalam lingkup pendidikan secara menyeluruh.

3. Mengevaluasi kesejahteraan pendidik: mengevaluasi kondisi psikologis dan melakukan evaluasi kinerja berkala untuk dapat memberikan dukungan yang tepat

4. Sistem pelaporan:  sistem pelaporan kekerasan yang aman, mudah diakses, dan tanpa takut akan pembalasan. Pelaporan dapat dilakukan secara anonim untuk memberikan rasa aman bagi anak didik yang melaporkan tindakan kekerasan. Hal ini perlu disertai dengan tindakan cepat dan tepat oleh pihak yang berwenang (misalnya, kepala sekolah, dinas pendidikan) untuk menanggapi kasus tersebut, dengan tujuan agar pelaku kekerasan mendapat sanksi yang sesuai. 

5. Melibatkan masyarakat: mengedukasi kepada masyarakat umum mengenai pentingnya perduli bahaya kekerasan dan cara bertindak ketika melihat kekerasan terjadi. 

Selain melakukan pencegahan diperlukan penanganan kepada pendidik sebagai pelaku kekerasan dan kepada anak yang menjadi korban kekerasan. Untuk dapat lebih efektif menangani kondisi tersebut selayakya dilakukan evaluasi psikologis (dengan syarat kondisi fisik dan psikis individu berada pada kategori normal). Hal ini perlu dilakukan agar dapat ditindaklanjut dengan tindakan yang tepat dengan tujuan memperbaiki pengetahuan, emosi dan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan tersebut.

Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan dapat dihentikan dengan mulai dari diri sendiri seperti: belajar tidak melakukan tindak kekerasan kepada diri sendiri dan orang lain, perduli dengan pendidikan yang terjadi disekitar kita, berkoordinasi dengan pihak tertentu dalam menghadapi kasus kekerasan oleh pendidik berdasarkan lingkungan tempat didikan tersebut berlangsung.  Hal ini perlu dilakukan karena pendidik seharusnya menjadi teladan, pembimbing dan pelindung bagi anak didiknya. Oleh karena itu, mari kita bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, penuh kasih. mendukung perkembangan fisik, mental, dan emosional anak didik secara holistik. 

Salam sehat sejahtera dan bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun