[caption id="attachment_172048" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Masih ingat dengan cerita tentang kantor pos mungil dan ketidakjujurannya? Sebuah kisah nyata yang saya angkat ke permukaan, dimana saya sendiri adalah salah seorang korban dari ketidakjujuran tersebut. Kejadian tersebut telah berlalu kurang lebih 3 bulan, dan kali ini saya akan kembali mengangkat tulisan dengan tema, tempat dan orang yang sama.
Sebenarnya, saya ingin langsung menuliskan perasaan saya yang masih dilingkupi dengan kekecewaan yang mendalam akibat ketidakjujuran dan tindakan korupsi dari salah seorang petugas kantor pos yang ada di kota Medan, namun karena berbagai pertimbangan akhirnya saya urungkan untuk segera melaporkan kejadian ini.
Saya bertukar pikiran dengan seorang sahabat, karena masih ada rasa kesal akibat tindakan petugas pos tersebut, dan akhirnya dia berkata “Kalau kamu masih memikirkan rasa kasihan, maka akan semakin banyak penjahat”. Benar, apa yang dia katakan benar adanya. Meskipun saya ingin melaporkan tindakan korupsi yang merugikan orang lain tetapi di satu sisi saya masih merasa kasihan dengan petugas tersebut, yang saya pikirkan adalah “bagaimana dengan nasib anak istri dan keluarganya?”. Rasa kasihan yang berbanding terbalik dengan rasa kekecewaan.
Pada tulisan sebelumnya, saya telah mengalami kebohongan dan penipuan sebanyak 2 kali, saya masih bersabar meskipun ada beberapa komentar dari para Kompasioner ketika itu yang mengatakan bahwa seberapa pun nilai rupiah yang diambil paksa dari kita, tetap saja itu adalah tindakan penipuan dan korupsi. Ya, memang nilai rupiah yang petugas itu ambil tidak banyak, mulai dari Rp 500 sampai Rp 1.000, tetapi caranya itu yang membuat saya tidak ridho.
Ketiga kalinya dia melakukan tindakan korupsi itu adalah pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2012 lalu. Ketika itu saya akan mengirimkan sebuah paket kepada teman saya yang berada di kota Jambi, setelah proses penimbangan paket selesai, dia mengatakan harga pengirimannya sebesar Rp 14.000, ada keraguan dalam hati saya ketika itu tapi saya menghiraukannya dan akhirnya saya berikan uang sebesar Rp 15.000, dia mengembalikan Rp 1.000.
Tidak lama kemudian, saya memperhatikan resi pengiriman paket yang hanya tertera sebesar Rp 13.320! Seketika rasa amarah memuncak, saya kesal sekali dengan tindakan petugas pos tersebut. Kembali lagi saya ingatkan, bukan karena harga Rp 700 itu, bukan, tapi tindakan penipuannya itulah yang membuat saya sangat marah dan ini sudah ketiga kalinya.
Saya datangi kembali meja pos tersebut, ketika itu orang-orang mulai berdatangan sehingga kantor pos yang mungil itu mulai ramai. Saya menunggu, dalam masa menunggu tersebut, kembali saya berpikir ulang, apakah pantas saya marah-marah dengan hal sepele seperti itu? Apakah pantas saya komplain dengan penuh emosi di hadapan semua orang? Apakah saya akan membuat petugas pos itu malu dengan harga komplain yang menurut orang lain tidak seberapa?
Akhirnya kembali saya urungkan kemarahan saya, tetapi dengan tegas akan saya tanyakan tindakannya itu. Dia melihat ada saya di antara orang-orang yang masih mengantri, kemudian dia bertanya “Ada apa?”. Langsung saja dengan tindakan yang tegas saya pertanyakan tindakannya, “Mengapa saya harus membayar Rp 14.000 sedangkan di resi menunjukkan angka sebesar Rp 13.320???” sambil menunjukkan bukti resi ke hadapannya. Dia hanya menjawab, “Ada uang Rp 400?”, “Ada” jawab saya pendek. Orang-orang yang ada di kantor pos tersebut hanya memperhatikan saya yang menujukkan resi dengan wajah yang menahan amarah.
Saya berikan uang Rp 500 dan dia mengembalikan uang sebesar Rp 1.000 tanpa melihat saya. Dengan kesal saya bertanya kepadanya “Siapa nama bapak?”, dia hanya diam dan saya melihat ke arah ID card petugas pos yang menggantung di kantong bajunya, namanya berinisial “AB”. Dia sama sekali tidak melihat ke arah saya, dan ketika saya beranjak keluar dengan perlahan dia melirik ke arah saya kemudian langsung menunduk. Saya sendiri tidak tahu, apakah ada korban yang lainnya selain saya. Mungkin bagi orang-orang yang memiliki harta yang berlebih, nilai Rp 700 itu bukanlah apa-apa dan terkesan tidak berarti sama sekali, namun, bagi sebagian besar orang yang harus mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan rezeki, nilai Rp 700 itu sangat berharga. Maka, pernahkah dia memikirkannya?
Betapa kesal hati saya, mengapa dia masih saja melakukan hal itu? apa dia tidak berpikir dengan akibatnya? Apa dia tega memberikan nafkah yang haram kepada anak, istri dan keluarganya? Nilai rupiah yang dia ambil secara paksa tersebut tidak memiliki harga yang besar bila dibandingkan dengan dosa yang akan ditanggungnya. Saya bukanlah manusia yang sok suci dan munafik, tetapi hal ini saya lakukan karena memikirkan keluarganya, itu saja, saya kasihan. Saya memang orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, bahkan saya tidak mengenalnya sama sekali, tetapi apa yang saya pikirkan adalah bentuk kepedulian terhadap orang lain. Bila hal itu bisa dicegah, kenapa tidak?
Inilah salah satu bentuk korupsi yang dilakukan dari jabatan terendah dari bagian pemerintah yang luas ini. Gambaran ringkas tentang tindakan penipuan dan korupsi yang mengerikan. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mengingatkan? Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membantu menegakkan kejujuran? Dalam hal ini, jangan terlalu mengharapkan tindakan pemerintah yang mengelu-elukan pemberantasan korupsi, tetapi kita sendirilah yang harus berusaha memeranginya.
Ikan kecil di adukan dan akan di adili, mendapat konsekuensi dan hukuman akan tindakannya. Namun, bila tindakan korupsinya tidak diberitahu secara luas dan kita membiarkannya untuk terus mendapatkan kesempatan itu, maka kita sama saja dengan memupuk tindakan korupsi, makin suburlah tumbuh di tanah air ini. Sedangkan ikan besar dapat dengan gesit dan licin berlari ke sana ke mari, meski dengan bukti-bukti nyata dan konkrit tetap saja mereka tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Ah, dunia semakin edan saja setiap hari, dunia semakin rusak karena korupsi.
190212
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H