Beberapa hari ini saya tidak ingin melihat berita di media cetak maupun di media televisi terkait dengan kecelakaan maut di Tugu Tani. Saya merasa trauma dan selalu dihinggapi kengerian yang teramat sangat atas peristiwa itu, khususnya setelah saya melihat video mengerikan dari para korban. Bukan hanya rasa kasihan, iba, sedih, tidak tega dan perasaan manusiawi lainnya, tetapi juga rasa amarah dan geram yang teramat sangat melihat sosok Afriani Susanti yang seakan tidak merasa bersalah itu, mungkin karena dia masih merasakan mabuk akibat obat-obatan terlarang yang dikonsumsinya.
Tetapi hari ini saya merasa lebih baik dengan adanya sebuah anekdot yang lumayan lucu untuk mengobati rasa kekecewaan terkait peristiwa kecelakaan tragis tersebut maupun kejadian yang lebih tragis di gedung DPR. Anekdot tersebut berbunyi seperti ini :
Dear Afriani Susanti
Setelah kamu keluar penjara nanti, akan kami sediakan :
1 unit mobil Xenia baru
2 kg shabu-shabu kualitas terbaik
3 hektar kebun ganja
Semuanya gratis untuk kamu tetapi hanya satu permintaan kami yaitu tolong kamu ngebut di gedung DPR ya…
Sekian dari rakyat Indonesia
Sebuah anekdot yang berisi sindiran dan merupakan refleksi rasa kekecewaan dari sebagian besar rakyat Indonesia akhir-akhir ini. Terlalu banyak peristiwa yang menyakitkan hati rakyat dan entah kemana sosok seorang pemimpin ataupun sosok wakil rakyat sejati yang bisa dan mampu mewakili perasaan teraniaya itu.
Kejomplangan negeri ini mungkin akan menuju puncaknya, ketika di satu sisi keberadaban uang membuat para wakil duduk dengan nyaman di atas darah, keringat dan tangis rakyat, menghamburkan uang untuk sesuatu yang disebut kotoran, mengatasnamakan perjuangan membela aspirasi rakyat melalui seperangkat alat olahraga, dan lain sebagainya. Namun, di sisi yang lain, sandal jepit, setandan pisang, selayang surat kerisauan hati, bahkan nyawa pun akan diberikan rakyat demi meniti jalan tidak bertuan yang akan membawa anak-anak ke rumah pendidikan.
Sepertinya sudah putus urat malu para wakil dan pemimpin bangsa ini. Saya cinta Indonesia, tapi saya tidak cinta dengan orang-orang yang mengaku sebagai pemimpin atau wakil rakyat itu! Panca indera mereka sudah rusak dan lumpuh semua karena mungkin Tuhan sudah terlalu murka hingga menggelapkan dan menutup semua panca indera mereka.
Benar sekiranya ketika seorang teman mengatakan anekdot menyakitkan bahwa “suara keset tidak akan pernah didengar”. Kita ini ibaratnya keset, yang hanya berfungsi sebagai pajangan untuk membersihkan kaki orang-orang bertuan. Tempat mereka membersihkan segala kekotoran hidupnya tanpa pernah menganggap bahwa keset itu sebenarnya ada dan bisa bersuara.
Andai anekdot itu benar-benar terjadi, mungkin akan terwujud suatu reformasi baru dimana seorang Afriani Susanti akan melakukan kudeta di gedung DPR dengan menggunakan mobil yang baru. Gedung itu memang perlu dibersihkan dari hal-hal yang berbau UANG dan KEKUASAAN. Bila pun seorang Afriani Susanti tidak bisa melakukannya, masih banyak sosok supir yang ugal-ugalan atau supir yang kecanduan narkotika yang bersedia melakukannya. Saya yakin, jauh di lubuk hati mereka, para pecandu narkotika itu, mereka juga ingin menghancurkan kebobrokan mental para wakil yang duduk di atas kursi seharga Rp 12 juta tanpa rasa bersalah itu.
Sejahat-jahat seorang Afriani Susanti, dia tetaplah manusia biasa yang melakukan kesalahan dan kekhilafan. Surat permohonan maafnya telah dilayangkan sesuai dengan berita di salah satu media online. Setidaknya, dia sudah sadar, mengakui kebersalahannya, merasakan penyesalan, dan melakukan permintaan maaf dengan tulus. Setidaknya dia menyadari apa kesalahannya dan meminta maaf tanpa menuding atau mencari kambing hitam dari peristiwa itu.
Ada yang lebih jahat lagi dari Afriani Susanti, dimana orang-orang jahat itu belum sadar, tidak pernah mau mengakui kesalahannya, tidak merasakan penyesalan, bahkan mungkin permohonan maaf dari mereka pun tidak akan pernah terucap. Ya, mereka adalah orang-orang yang mengaku sebagai wakil rakyat, mereka tidak akan pernah meminta maaf kepada rakyat yang mereka wakilkan suaranya, dan mereka akan selalu menuding ke sana kemari untuk mencari siapa kambing hitam yang cocok untuk dijadikan tumbal sementara. Sampai kapanpun siklus setan ini akan selalu terjadi bila pemimpinnya tidak mengambil alih dengan tegas.
Satu lagi sebuah ungkapan yang mungkin tepat untuk menggambarkan kenyataan kepemimpinan para wakil rakyat itu, yaitu “like father like son”. Seperti apa ayahnya, maka seperti itu pulalah anaknya.
260112
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H