Beberapa dari kita mungkin pernah dinasihati untuk mendengarkan  apa kata orang. Karena, konon kabarnya hanya orang lainlah yang dapat melihat bagaimana diri kita.
Sekilas, saran ini bijak, dan tentu saja, belajar mendengarkan "apa kata orang," membuat kita sadar, bahwa ada pendapat lain yang bisa jadi bertolak belakang sama sekali dengan apa yang ada dalam benak kita mengenai diri sendiri.
Tapi, apa iya begitu?
Beberapa waktu lalu, seseorang yang punya kedudukan cukup mumpuni untuk mempengaruhi banyak orang, mengatakan bahwa saya begini dan begitu, menurut versinya. Tentu saja, pendapatnya dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi anak-anak muda, yang rata-rata hanya berjarak 2-6 tahun usianya, di atas anak kandung saya.Â
Saya sendiri, tidak terganggu dengan apa katanya. Maklum, dia masih belia, dan mungkin, usia saya yang jelita (jelang lima puluh tahun), yang menempa saya untuk tidak menghiraukan hal remeh seperti itu. Kenapa? karena, itu pendapatnya pribadi. Bukan kebenaran tentang saya, dan perkara sepele itu hanya akan menghabiskan energi dan waktu.
Terbukti, seiring berjalannya waktu, si mumpuni keluar, dan tinggallah anak-anak muda yang polos yang pada akhirnya ketika berinteraksi dengan saya, mendapati bahwa saya ternyata "biasa-biasa aja," tidak seperti apa yang mereka dengar tentang saya. Sisi baiknya adalah, mereka cukup terbuka untuk mengakui ternyata apa yang mereka dengar selama ini tidak seperti kenyataannya. Agaknya untuk kasus ini pepatah "Tak kenal, maka tak sayang," benar adanya.Â
Lain lagi dengan kasus "apa kata orang," yang pernah saya dengarkan.Â
Ketika sedang gencar-gencarnya menulis di Kompasiana, sebagai ajang menumpahkan pemikiran dalam sekian banyak kosa-kata, juga latihan menulis, beberapa orang komen: ngapain, sih, nulis tiap hari?! Nggak ada kerjaan?! Lama-lama bosen, lho orang nanti!
Celakanya, saya dengarkan apa kata mereka. Saya diam. Saya berhenti menulis. Lama. Hampir setahun lebih. Paling banter menulis caption sosmed. Itu pun remeh retjeh saja. Seperti tulisan ini. Less sugar, kalau kata versi minuman kemasan masa kini.
Setelah berhenti menulis, rasanya memang sulit untuk memulai lagi. Seperti hubungan yang sudah lama dingin, terasa kikuk hendak mulai dari mana.