Pada tahun 80-an ketika saya beranjak ABG, ada acara di radio dengan nama "dear diary," yang kebanyakan berisi kisah cinta. Saya sendiri jarang mendengarkan program itu, yang sering saya lakukan adalah menulis buku harian. Diary, begitu kebanyakan orang menyebutnya.
Sejak SD kelas tiga, saya mulai menulis buku harian. Buku harian pertama yang saya miliki adalah pemberian seorang teman, hadiah ulang tahun waktu itu. Sampai sekarang, kebiasaan menulisi buku harian masih saya lakukan. Menuliskan segala kegiatan juga curahan hati lengkap dengan semua emosi yang saya rasakan hari demi hari.
Ketika membaca ulang buku-buku harian itu, kadang seperti berziarah ke masa lalu ... mengingat kejadian layaknya kepingan puzzle yang kemudian memberikan gambaran utuhnya setelah semua peristiwa selesai, dan saya hanya bergumam ... oooh ... ternyata begitu 'pesan' dari kejadian yang telah lewat.
Menyoal tentang buku harian, pernah suatu waktu, saya "menemukan" buku harian seorang teman yang meninggal karena kanker yang dideritanya. Saya baca setiap tulisannya, dan rasanya dia masih ada, belum pergi jauh. Mungkin karena melihat tulisan tangannya, ya, jadi seolah-olah dia hanya pulang ke rumah dan bukunya ketinggalan di ruangan itu.Â
Lain lagi dengan pengalaman seorang teman tentang buku harian. Suatu hari, dia membaca buku harian ibunya, yang telah pergi selamanya karena kanker. Â
Selama ini teman saya merasa bahwa apa yang pernah ia lakukan belum cukup untuk menyengangkan ibunya, ada rasa sesal dalam hati mengingat tidak akan pernah ada lagi kesempatan membahagiakan sosok ibu. Â Tapi, melalui setiap tulisan almarhumah di buku harian, ia tidak menyangka, ibunya begitu merasakan perhatian dan besarnya kasih sayang suami dan anak-anaknya, terutama saat menjalani kemoterapi.Â
Ada kelegaan dan haru yang mendalam ketika ia membaca tulisan tangan mendiang ibu tersayang. Almarhumah menuliskan semua perasaannya, diungkapkan dengan kejujuran yang sedalam-dalamnya. Â Semasa hidup, memang ia rajin menuliskan semua isi hati dalam buku hariannya. Tidak ada seorangpun tahu, isi hatinya yang paling dasar, sampai suatu ketika teman saya membaca buku itu.
Kini, buku harian itu bagaikan harta karun, juga pelepas rindu akan sang ibu. Tulisan tangan itu seolah menjadi bagian yang tinggal tetap bukan saja dalam kenangan tapi wujud nyata keberadaan ibunya. Foto seakan dapat membekukan waktu dalam gambar, namun, meraba setiap lembar buku dengan goresn pulpen, seolah menggenggam tangan ibu.
Mendengar kisah teman saya ini, membuat saya semakin rajin menuliskan semua yang saya lalui setiap hari, lengkap dengan rasa yang menyertainya. Berharap, suatu hari nanti anak-anak saya dapat memahami saya sebagai ibunya dengan utuh. Karena, kadangkala ibu begitu sulit dimengerti oleh anak-anaknya. Apalagi ketika Ibu harus memilih 'tega' demi mendidik anak-anaknya. Â
Tulisan tangan dalam buku harian akan menjadi warisan yang dapat digenggam selamanya, menjadi pelita bagi mereka yang tercinta. Semoga kita dapat mewariskan nilai-nilai luhur yang bukan saja tertuang dalam tulisan, tapi dalam setiap laku kehidupan.