Mohon tunggu...
Harry Irawantho
Harry Irawantho Mohon Tunggu... -

rakyat biasa dari pedalaman Kalimantan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anda Meloloskan 560 Penjahat Ke DPR Demi 1 Malaikat Sebagai Presiden. Mikir Lagi...Mikir!

5 April 2014   19:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti janji sebelumnya, saya akan menulis pentingnya hubungan politik pileg & pilpres (menurut pendapat saya). Apa yang menjadi latar belakang sebagian partai mengumumkan capres "pamungkas"nya sebelum pileg? Ada lagi yang menggunakan tokoh kontroversial (bukan karena itu partai isinya orang bego semua, tapi ini strategi politik). Ada parpol yang masih misterius (siapakah capres-nya?). Ada pula yg sengaja "membiarkan" banyak sekali capres di partainya mencalonkan diri, di mana setiap calon itu memiliki pendukung fanatik-nya masing-masing (lumayan kalo dikumpulin, cukup lah buat beli beras, hahahaaa...memenuhi ambang batas 3,5% di pasal 208 UU No.8 Th 2012, maksud gw).

***

Gw sih berharap grup musik Slank kagak ikut-kutan juga nih, "diperalat" sama elite politik, karena Slankers itu lumayan banyak & fanatisme mereka tidak diragukan lagi (cukup salah satu Raja aliran musik yang terlanjur ikut-ikutan). Semoga..hahahaa...Gw nonton berita kampanye, sering sekali lihat tuh bendera Slank ikutan nongol, kagak cuma di 1 partai, di beberapa partai. Kalau bisa sih usul, pemilu depan, mending bikin partai aja, popularitasnya lumayan. Heheheee....

***

Balik lagi, apa yang mereka lakukan, itu strategi politik, kawan. Didesak juga oleh peraturan dan mekanisme perundang-undangan.
'Masalah' pertama itu berawal dari Pasal 208 UU No.8 Thn 2012 tentang pileg. Ini krusial, karena jika parpol tidak memiliki kursi (wakil) di DPR. Maka :
1. Wakil yang menyuarakan aspirasi mereka tidak ada.
2. Ada kemungkinan akan "dimusnahkan" oleh mereka yg memiliki wakil di DPR. Bayangkan jika DPR periode depan menetapkan UU Pemilu 2019, yang berhak ikut pemilu selanjutnya adalah hanya partai yang memenuhi ambang batas 3,5% suara sah tahun ini. DPR setuju, Presiden setuju, deal. Tamat riwayat partai kecil.
3. Tidak mungkin dapat mengajukan capres dan cawapres.
4. Kecil kemungkinan dapat berkoalisi.
5. 'Jatah' kursi menteri, pejabat BUMN, dll mungkin juga hilang.
Jadi, pemilu kali ini, apapun caranya harus masuk 4 besar atau mengumpulkan 3,5% suara dari surat suara sah secara nasional. Atau, musnah...

'Masalah' kedua, adalah Pasal 9 UU No.42 Thn 2008 tentang pilpres, yang isinya :
"Pasangan  Calon  diusulkan  oleh  Partai  Politik  atau  Gabungan
Partai  Politik  peserta  pemilu  yang  memenuhi  persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi  DPR  atau  memperoleh  25%  (dua  puluh  lima  persen)  dari
suara  sah  nasional  dalam  Pemilu  anggota  DPR,  sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."

Kursi DPR kita ada 560 kursi (kalau kagak ada yang bawa kursi sendiri nih, ya cuma segitu menurut UU No.8 Th 2012 pileg). Jadi, 20%-nya adalah 112 kursi. Jadi, parpol yang sudah mengumumkan capres nya, 112 kursi adalah harga mati. Partai yang memiliki tokoh-tokoh populer, akan segera memperkenalkannya sebelum pilpres, karena 112 kursi tadi. Bahkan ada partai yang isi calegnya artis-artis tok (ya harapannya biarpun kagak punya tokoh-tokoh besar ya tokoh-tokoh kecil dari dunia hiburan paling kagak bisa mendongkrak suara). Sementara yang kagak punya tokoh, ini lagi mikir cara lain nih (salah satunya dengan menyerang tokoh populer dari partai lain agar terjadi perpecahan, biasa..ini kan panggung politik, loe yang ikut-ikutan terpancing berarti berhasil dipengaruhi oleh mereka, hahahaaa....). Bagi mereka yang penting isi Pasal 208 UU pileg & pasal 9 UU pilpres terpenuhi. (mbuh piye carane rek)

Dan yang harus kita ketahui, jika 112 itu sudah berhasil didapat, parpol itu mau mendaftarkan kakeknya ketua umum partai, atau anaknya ketua umum partai, atau siapa pun jadi capres, itu sudah terserah pada elite parpol itu. Itu keputusan partai. Jadi, peta pencapresan bisa berubah, sangat bisa berubah setelah pileg nanti.

Misalnya,
Partai A memiliki calon X sebagai presiden
Partai B memiliki calon Y sebagai presiden.
Berdasarkan hasil pemilu DPR pusat
Partai A hanya memiliki 56 kursi
Partai B memiliki 56 kursi.
Untuk memenuhi pasal 9 UU pilpres tadi, maka Partai A dan Partai B berencana berkoalisi (membentuk "Gabungan Partai  Politik  peserta  pemilu", seperti yang tertulis di pasal itu). Alhasil kursi mereka ada 112 dan berhak mengajukan capres. Terjadi diskusi alot, apakah X atau Y yang didaftarkan, eh ada "tokoh jenius" menyusup yang akhirnya mengusulkan Z jadi capres dan ternyata semua anggota partai A & B setuju Z jadi capres. Peta berubah?! (loe ingat-ingat lagi bagaimana Pak Gusdur dapat jadi presiden kita melalui politik poros tengah, ingat?! Itu salah satu politik jenius, ahahahaa......)
Lanjut lagi contoh tadi, rakyat kecewa karena ternyata capres adalah Z (bukan X atau Y); akhirnya Z tidak dipilih dan kalah di pilpres. Ya, 112 kursi (partai A & B) sudah bersiap menjadi oposisi pemerintahan terpilih. Calon lain kalah, 112 lagi jadi oposisi. Hingga dari 560 anggota DPR, 448 kursi capres-nya kalah, dan hanya 1 presiden yg diusulkan oleh 112 sisanya yg menang (misalnya). So, Presiden terpilih akan menghadapi 448 kursi oposisi di parlemen dalam meloloskan program-programnya (ingat lagi, bagaimana Pak Gusdur akhirnya "digusur" paksa karena bersitegang dengan DPR kala itu; apa yang bisa rakyat lakukan?!).
Kadang presiden yang juga produk partai politik, harus mempertimbangkan hal ini. Keseimbangan parleman, hubungan legislatif & eksekutif. Presiden saat ini kalau dipikir-pikir, bukan juga nggak berani tegas, atau ekstrim layaknya Pak Gusdur. Tapi beliau mempertimbangkan politik, jika koalisinya pecah, maka pecahan itu akan memperkuat oposisi. Cerita berbeda jika partainya menguasai 50% kursi DPR, mungkin tidak akan ada ketakutan politik. (belajar dari sejarah juga kali ya).
Itulah politik, fleksibel seperti air. Karena itu pusing kalau diikuti (apalagi bagi para fans "ilmu pasti", seperti saya). Tapi setidaknya, Anda tahu ini agar Anda dapat memiliki pandangan yang jernih, dan menentukan sikap politik sendiri, bukan karena terpengaruh "aliran media" tapi karena itu keputusan yang sudah dipertimbangkan.

Yang menjadi ketakukan saya pada peta politik yang ada saat ini adalah sikap mengabaikan (menganggap tidak penting, tidak mau terlibat) di pileg nanti dan menganggap pilpres lebih penting. Karena Anda adalah fans fanatik dari seorang capres dari partai A, agar partai A menang lalu Anda tidak peduli siapa caleg-nya, asal coblos partai A. Supaya capres Anda (dari partai A) nantinya dapat dicalonkan/diajukan. Celaka!
Bersyukur jika caleg "asal coblos" tadi adalah orang baik; jika serigala berbulu domba alias penumpang gelap. Ya, kita telah mengambil keputusan "MEMILIH 560 PENJAHAT DEMI MELOLOSKAN 1 MALAIKAT". Dan akhirnya karena kesalahan kita semua, 1 orang malaikat itu selanjutnya terpaksa akan menghabiskan sebagian besar waktunya melawan 560 penjahat tadi di parlemen (dan kapan ngurusin rakyat-nya?!)

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun